Vishal - Petaka

1.5K 421 108
                                    

“Gila, ya! Gue kira wakil rakyat doang yang nggak punya hati. Ternyata berengsek macam lo kelakuannya lebih parah.”

“Dih, bawa-bawa wakil rakyat! Tukang bakso lewat baru tahu rasa lu!”

“Bacot lo taik!”

“Lu yang bacot!”

Aku dan Milan bertukar pandang. Perdebatan dua orang itu terasa membara. Baik Kasta maupun Sagita sama-sama tidak mau kalah. Saling mengeluarkan urat. Bahkan mata mereka memelotot ketika bicara dengan suara nyaring.

“Kas, Git.”

Milan berusaha melerai, sementara aku diam. Menjeda mereka hanya buang-buang tenaga. Keduanya tidak akan berhenti kecuali jika si Gibran bangun. Kujamin seribu persen.

Sebenarnya pusing juga mendengar Kasta dan Sagita adu mulut. Apalagi saat ini gigiku sangat ngilu. Ingin rasanya aku berteriak agar mereka tenang. Tapi percuma juga.

Namun meski demikian, kuakui fenomena ini cukup kurindukan. Bukannya sok melankolis, tapi pertemuan ini memang kunanti-nanti.

Aku, Sagita, Milan, dan Kasta bersatu sebagai empat "benalu" di kelas. Bertemu di kelas satu SMA kemudian tidak terpisahkan——sebelum perselisihan itu terjadi. Awalnya dibagi dua kubu. Aku dengan Sagita (kami satu SMP) dan Kasta dengan Milan (mereka bersama sejak SD). Sagita menolak duduk sebangku denganku waktu itu. Bosan katanya. Akupun memutuskan untuk duduk di tempat lain.

Agak tidak menyenangkan saat itu. Aku duduk sendiri di bangku paling ujung. Tidak ada yang menyapa, ataupun menyadari keeksisanku. Sialnya lagi, Sagita tampak asyik dengan teman barunya. Aku seperti tidak dikenalinya. Omong-omong, saat SMA rambutku masih hitam. Baru tiga bulan terakhir kuwarnai menjadi biru.

Mari lanjut soal pertemanan kami. Aku bertemu dengan manusia bernama Kastara Prabu setelah dua minggu berstatus sebagai anak SMA. Kemunculannya sangat tiba-tiba. Tebak di mana?

Di jendela.

Iya, jendela secara harfiah.

Waktu itu kelas kami sedang belajar di lab komputer. Aku yang melupakan tempat pensil terpaksa kembali ke kelas. Tepat ketika hendak meraih yang kucari, aku mendengar suara dari jendela. Ketuk-ketuk beberapa kali.

Dan betapa terkejutnya aku mendapati seseorang di sana. Aku bertanya-tanya bagaimana caranya dia ada di situ, padahal ruang kelasku ada di lantai tiga. Yang lebih gila lagi, anak ini naik dan melewati jendela dengan lincah setelah aku membuka kunci. Dia seperti Spiderman yang keren itu. Yeah, Spiderman memang keren. Selama pemainnya masih Tobey Maguire.

“Tengkyu.”

Aku mencium bau rokok ketika dia bicara. Suaranya khas remaja puber.

“Ada yang namanya Milan Bagaskarani, kan?” Dia bertanya, aku mengangguk. “Di mana dia duduk?”

Aku menunjuk bangku kedua dari baris kedua. Dia mendongak ke sana. Setelah menyadari kursi yang kumaksud telah terisi, ia tampak bersiap menerobos.

“Duduk sini saja.”

Dia melirik sekilas. “Kosong?”

Aku mengangguk.

Dia lantas menaruh ransel buluknya, kemudian duduk santai di kursi. Kuperhatikan dia lebih lama. Penampilan anak ini agak mengerikan. Beralis hitam tebal dan berkumis tipis. Matanya entah kenapa culas sekali. Dipadu badan atletis dan kaki panjang, aku menerka dia ini senior yang tinggal kelas.

“Kastara Prabu. Panggil saja Kasta.” Dia mengenalkan diri tanpa melihat mukaku.

“Vishal.”

“Vishal saja?”

They Did ItTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang