14. ARYA POV, Sosok Misterius

10 2 0
                                    

Siapa yang menyuruhmu untuk mencintai kehidupan?

 

.

 

.

 

.

 

Di Kantin SMA Cahaya Harapan

"Ih Awas... Monster mau lewat!"

"Minggir lu, jangan macam-macam. Nanti lu dibegal Arya"

"Gila banget ini sekolah bisa- bisanya nerima preman"

"Parrahhh, ada yang bilang dia enggak bakal segan-segan membunuh lu kalau dia marah. Dia itu pembunuh"

"Anjay!!"

Gue bisa dengar suara obrolan anak-anak lain yang anehnya bisa sampai ke kuping gua meski kelihatannya mereka lagi bisik-bisik, entah sengaja atau nggak. Tapi itu udah biasa. Selalu begini kalau gue lewat di koridor sekolah, lapangan, perpus, atau di mana aja di setiap sudut sekolah ini.

Di sini keberadaan gue nggak pernah diinginkan. Nggak ada sedikitpun senyum atau uluran tangan. Setiap kali gue lewat orang-orang di sekitar gua bakal menghindar kayak "Laut Merah" yang membelah jadi dua. Anggap gue aneh, nganggap gue preman atau begal.

Rambut acak-acakan gua yang panjangnya nutupin mata bahkan nggak menghalangi sedikitpun kebencian mereka di mata gua.

Gua biasanya nggak gampang kepancing, tapi entah kenapa kepala gue pusing dengerin omongan mereka hari ini. Ditambah perut gue yang dari pagi udah kerasa sakit.

Tapi begitu gue sampai di bangku biasa gua di kantin, sesosok yang paling gua benci ternyata udah Stand By duduk di sana. Memiringkan kepalanya sebelum memulai bicara.

"Masih ngerasa pantes buat bertahan hidup?" tanyanya dengan nada menyebalkan seperti biasa.

"Lu ngapain disini?!!" tanya gua sambil menahan emosi.

Dia, entah siapa. Dia,  bahkan tak pernah menunjukkan wajahnya.Hanya mata hitam mengerikan,  wajahnya selalu tertutup topeng misterius, juga jubah hitam yang tak kalah menakutkan. Gua nggak mengenalnya, tapi dia tahu semua seluk beluk kehidupan gua.

"Haha,,lu udah pernah ngebunuh orang masih ngerasa pantes buat hidup??!" Katanya benar-benar menyakiti telingaku.

"Mau lu apa??"  Kutarik kerah jubahnya kuat-kuat.

"Sadar diri lu, Ar!! Siapa yang pengen lu hidup. Bunuh diri aja sana!".

Tangan gua mengepal, teramat siap untuk menghajarnya.

Tapi bukankah terlalu menyenangkan untuknya jika aku benar-benar memukul wajahnya kali ini??

Braakk,,,

Pyaarr,,

Suara keras dari meja yang gua gungkir balikin. Disusul suara lain dari piring-piring pecah, dan alat-alat lain yang otomatis terjatuh dari meja.

"Bisa nggak gua nggak ketemu lu?!! Ngerusak pemandangan"

Melihatnya masih berdiri tegak di depan gua bener-bener bikin muak. Refleks gua meludah ke lantai sebelum memakinya.

"Gua bilang minggir!!! Apa perlu lu gua bacok. Hah!"

Dan seperti biasa dia menghilang bagaikan asap kurang dari setengah detik. Bukankah itu menjengkelkan, setiap hari menghadapinya benar-benar bisa bikin gua gila.

Hingga akhirnya gua sadar, nggak ada mata yang nggak ngelirik gua tajam. Semuanya menusuk, jelas banget gua dianggep pembuat onar.

Karna percuma, mau gua jelasin sedetail apa, selalu gua yang bakal jadi tersangka. Siapa yang bakal percaya kalo gua bilang ada sosok misterius yang selalu hadir buat ngurusak kewarasan gua. Siapa, hahaha?!!

Beberapa orang mulai mendekat dan menunjukan kejijikan mereka ngeliat gua.

Si Cowok sampah.

Dan entah sejak kapan, cewek yang gua rasa familiar menangis sendu tepat di depan gua. Dia,,, cewek yang gua peluk di atap kemarin. Menangis entah karna apa, dan oleh siapa.

"Lu bego apa? Lu kan cowok, apa nggak bisa ngalah??"  Dian, si cewek berkacamata mulai memaki gua. Masalahnya apa?

Diikuti sekumpulan orang-orang lain yang mulai bersuara lewat sudut pandang mereka.

"Fizya nggak papa kan, nggak luka kan?"

"Arya nggak bisa nahan emosi dikit apa? Anak baru aja dibabat!"

"Lu jangan mau jadi temennya Arya, Fiz! Dari penampilannya aja udah keliatan"

"Sampah!!"

"Tempat yang pantes buat lu tuh di penjara, paham!!"

"Bajingan"

Buugg,, bogem mentah gua mendarat tepat ke cowok yang mulutnya ngelebihin cabe ini.

"Lu bilang apa tadi?!" tantang gua sambil terus memukul wajahnya, tak peduli lagi walau darah keluar dari pelipis, hidung dan sudut bibirnya.

Arrrggg!!,,

Suara jeritan terdengar di mana-mana. Dari berbagai penjuru penonton terus menerus bertambah. Berteriak memanggil guru-guru atau siapapun yang bisa menghentikan keganasan gue.

Suasana semakin ricuh, jelas menegangkan. Tapi sebelum gua bener-bener sukses ngerusak muka korban gua, tangan gua seketika berhenti begitu sadar bahwa yang gua pukuli adalah adik gua sendiri, dia Iqbal.

Apa-apaan ini?

.

.
.
.
.
.

Matahari yang Ingin TerbenamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang