2. sebuah almamater

94 30 194
                                    

whatsap brohhh

ketemu lagi dengan el si anak doyan makan nasi pake lontong 🖤

gimana kabare?

halunya udah jadi kenyataan belom?

udah tobat jadi pembaca gelapnya?

yuk tobat yuk Asyhadu ....

btw sebelum baca vote dulu ya

komen juga di paragraf yang kalian suka

inget satu hal, vote dan komen kalian adalah sumber vitamin el🧸

.
.
.
.
.

“Untuk kamu yang selalu menyembunyikan luka dengan senyuman, kamu hebat.”

.
.
.
.
.

2. Sebuah almamater

Gadis itu memiringkan kepalanya ke samping memerhatikan tubuhnya dari atas hingga bawah. Tidak ada yang kurang, batinnya. Ia kemudian meraih tas yang sudah menemaninya dari ia masuk SMP.

Gadis itu adalah Auristela Hazel. Gadis yang setiap hari selalu tersenyum ceria. Kini ia sedang membawa beberapa buku yang sudah ia gunting sebagian karena terdapat coretan. Untuk mempercantik ia membungkus setiap sampul buku menggunakan koran dan selotip untuk memperkuat koran menempel pada sampul buku.

Auris menggantungkan name tag yang terbuat dari kardus di lehernya. Setelah itu Auris memakai sepasang sepatu yang terlihat usang. Wajar saja ia mengambilnya dari tong sampah belakang rumah. Auris meyakini jika itu sepatu bekas kakaknya yang sudah tidak terpakai. Karena menurut Auris masih bagus, ia membawanya dan mencuci dengan bersih.

Auris menarik kaus kakinya. “Yah robek.” Kaus kaki satu-satunya telah robek karena Auris menariknya terlalu kencang, “gakpapa deh, kan pake sepatu, gak bakal keliatan,” ucapnya kembali tersenyum.

Kemudian ia berdiri dan menepuk roknya. Meraih tas dan segera keluar dari kamar. Auris menuruni setiap anak tangga hingga tiba ia di lantai bawah.

“Selamat pagi semuanya!” semangat Auris hingga kedua tangannya terangkat ke udara.

Hening.

Semuanya tidak merespon Auris sama sekali, bahkan tidak meliriknya. Auris tersenyum getir, oke ini masih pagi, Auris masih memaklumi.

“Hai, Dek.” Seorang perempuan delapan tahun lebih tua dari Auris merangkul bahunya.

Auris tersenyum. “Hai, Kak.”

“Sarapan yuk sama yang lain.” Zela merangkul bahu adik ketiganya dan menghampiri meja makan.

“Ngapain Kak Azel ajak dia ke sini,” ucap Shifabela tidak terima.

“Lho, gakpapa dong. Auris juga butuh sarapan, dia mau MOS sekarang di sekolah kamu, Bel.” Zela hanya terkekeh kecil dan mengajak Auris untuk makan bersama.

“Ruka udah kenyang,” ucap laki-laki itu berdiri dan mengambil jaketnya, “Yah, Ruka berangkat dulu.”

Varo hanya mengangguk kecil. Ia mengerti apa yang dirasakan anak keduanya. “Bela, Ayah tunggu diluar,” ucap Varo berdiri dan meninggalkan meja makan.

Hi AisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang