1

4.1K 232 27
                                    

Mungkin hanya aku yang seperti ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mungkin hanya aku yang seperti ini.

Melalui semua yang tidak pasti.

Rangkaian kereta api bergerak semakin pelan begitu memasuki stasiun Tugu hingga akhirnya berhenti. Rayhan mengenakan jaket dan ranselnya, namun masih tetap duduk di tempatnya, menunggu hiruk-pikuk di sekitarnya mereda. Ia merasa tidak sedang tergesa, tidak juga ditunggu. Jadi, ia memiliki banyak waktu.

Rayhan memakaikan topi merah muda bergambar Minnie Mouse di kepala Kirana, gadis kecil yang masih tertidur pulas di sampingnya, kemudian perlahan ia mengangkat tubuh anak itu dan menggendongnya. Diusapnya punggung Kirana ketika anak itu mengeluarkan suara—seperti mengigau.

Saat menapakkan kaki di peron, Rayhan mengedarkan pandangannya. Sekelilingnya penuh dengan orang berlalu-lalang. Suara pemberitahuan kedatangan kereta terdengar berbaur dengan klakson dan getar rel saat rangkaian roda ular besi memasuki jalur. Sungguh, Rayhan tidak tahu apa yang akan dilakukannya di kota ini. Dalam hatinya muncul perasaan gamang—tidak yakin dengan apa yang dijalaninya kini. Dunia sekitarnya menjadi terasa sempit, meninggalkan dirinya bersama anak yang tergolek di bahunya.

Di luar halaman Stasiun Tugu, udara pagi yang lembut bercampur dingin menyeruak ke pori-pori kulitnya. Rayhan melihat kendaraan umum—becak, andong, taksi—berjejer menunggu dan berebutan menawarkan jasa. Tidak mau menunggu lama, Rayhan lekas memilih taksi. Sang sopir lekas membukakan pintu untuknya.

Setelah mengatakan tujuannya ke Umbulharjo, Rayhan menyandarkan punggungnya. Pusat kota Yogyakarta mulai ramai. Tidak lama lagi pasti kemacetan menjalar. Kota ini memang berbeda dengan dulu saat ia kecil sampai ia kuliah di Jakarta—sekitar tahun 2003.

Dulu, di pagi hari Yogyakarta lowong dan sepi. Kalau ada yang bilang 'macet', itu hanyalah definisi antrian kendaraan di lampu merah—antriannya pun hanya empat sampai lima baris saja. Dan di malam hari, begitu memasuki pukul sembilan, jalanan utama Yogya sepi. Kalau sekarang kata 'macet' sepertinya hal yang lumrah terlihat dimana-mana di kota ini.

"Papa..." Kirana di sampingnya terbangun, menyandarkan kepalanya di lengan sang ayah. Matanya masih mengerjap-ngerjap dan mulut mungilnya menguap. "Kita sudah sampai, ya, Pa?"

Rayhan mengusap rambut putrinya. "Iya, Sayang." Lalu mengeluarkan sebungkus roti. "Makan dulu."

Anak itu menerima dengan tangan lemas. "Nana mau susu juga, Pa," katanya sambil membuka pembungkus roti.

Drrt.

Tangan Rayhan yang hendak membuka tas, terhenti. Dilihatnya nama 'Ibu' tertera di layar ponselnya. Tidak tahu kenapa ada perasaan enggan yang membuat ibu jarinya berlama-lama di tombol untuk menjawab, dan akhirnya ditekan juga.

"Ya, Bu?" Ada yang tertahan dalam perasaannya saat memulai percakapan.

"Kamu sudah sampai, Le? Kok ndak kasih tahu Ibu?" suara Ibu terdengar khawatir.

Coming Home (CABACA.ID)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang