AMIRA
Lima tahun sudah aku menata hati setelah perceraian yang menyakitkan. Aku siap membuka lembaran baru bersama seseorang yang aku harapkan tidak akan menorehkan luka lagi.
Tanpa pernah kusangka, mantan suamiku pindah ke Yogyakarta bersama putri...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ketika mendengar ponselnya berdering, Amira mengerang pelan dan menarik selimut menutupi kepalanya, memilih mengabaikan. Pasti Bude Wulan yang mengabarkan kalau sudah di pasar karena ada banyak pesanan batik. Nanti ia telepon balik Bude. Sekarang, ia masih ingin tidur sebentar lagi.
Sebenarnya, Amira malas ke TK. Ia malas bertemu Kirana—terlebih Rayhan.
Setelah dering ponselnya berhenti, Amira merasakan kembali kedamaian hidupnya. Namun, ternyata kedamaian itu tidak bertahan lama. Ponselnya kembali berdering. Dengan mata terpejam ia meraba-raba tempat tidur dan meraih ponselnya.
"Halo," gumamnya menjawab telepon.
"Assalamualaikum..." Suara seorang laki-laki bernada tenang dan lembut terdengar di ujung sana.
Kening Amira mengerut. Suara Galih! Matanya yang semula masih mengantuk, kini benar-benar terbuka.
"Amira?" Galih memanggilnya.
"Oh..., waalaikumsalam, Lih. Iya, aku baru bangun tidur." Amira bangkit dari posisi berbaring dan duduk di atas tempat tidur.
"Pasti kamu sibuk banget ya, jadi kecapekan gitu," kata Galih dengan nada penuh perhatian.
"Nggak juga." Amira menyahuti sambil memelintir ujung selimut. "Semalam aku nonton drama Korea sampai tengah malam, jadi bangunnya rada siang."
"Jangan sering-sering begitu, ah. Nanti kamu sakit kalau sering tidur malam," tegur Galih.
"Iya."
"Oya, Mira. Kemarin aku telepon Ajeng, nanyain soal lokasi pabrik konveksi punya keluarga suaminya— buat urusan kantor. Terus dia cerita, katanya anak mantan suami kamu sekolah di TK tempat kalian ngajar. Benar?"
Amira menelan ludah, tidak menyangka Ajeng akan menceritakan kepada Galih secepat ini. "Iya, Lih," jawabnya.
"Apa... mantan suamimu mendekatimu lagi?" tanya Galih dengan nada suara aneh, seperti cemburu.
"Nggak, kok," ujar Amira. "Dia sudah menikah lagi. Sudah punya keluarga baru. Buat apa mendekatiku lagi?"
"Ya siapa yang tahu?" sahut Galih. "Ada saja orang yang punya tabiat nggak bisa diubah. Nggak peduli itu mantan istrinya."
Amira menyeringai. Lucu mendengar ocehan kecemburuan Galih. "Kalau iya dia mendekatiku lagi, aku juga udah nggak mau sama dia, Lih."
"Kalau dia sampai berani ganggu kamu, bilang sama aku ya, Mira. Aku yang akan hadapin dia," desis Galih dengan nada mengancam.
Amira tersenyun. Dalam hati ia merasa tersanjung. "Makasih ya." Lalu ia melihat ke arah jam dinding. Pukul setengah tujuh! "Lih, udah dulu ya. Aku harus siap-siap ke TK."
"Yo wes, hati-hati ya berangkatnya. Aku juga mau siap-siap rapat lagi," kata Galih.