AMIRA
Lima tahun sudah aku menata hati setelah perceraian yang menyakitkan. Aku siap membuka lembaran baru bersama seseorang yang aku harapkan tidak akan menorehkan luka lagi.
Tanpa pernah kusangka, mantan suamiku pindah ke Yogyakarta bersama putri...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selalu saja ada lintasan masa lalu saat melihatmu. Dan itu membangkitkan rasa sakitku.
Amira berdiri di depan kelas, menyambut murid-muridnya. Satu per satu anak memasuki kelas dengan sebelumnya mencium tangan sang guru. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, melambaikan tangan dan sebagian berpesan agar si anak bersikap baik.
Udara pagi itu terasa hangat. Angin yang biasanya menerbangkan debu, kini bersikap lebih ramah. Hari yang cerah, seperti wajah-wajah mungil yang ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. Beberapa tampak bicara. Amira senang anak muridnya belajar bersosialisasi satu sama lain.
"Pagi, Bu Guru." Kirana mencium tangannya.
Senyum Amira berubah ragu-ragu melihat kehadiran anak itu. Begitu menengadahkan kepala, pandangannya bertemu dengan Rayhan. Amira mendesah kesal dalam hati. Selalu saja, ketika menatap wajah itu, serentetan peristiwa berlintasan di kepalanya.
"Kamu mau tahu rahasiaku, Mira?" Rayhan berbisik di lehernya, lalu meletakkan kepala di bahu istrinya.
"Apa?" Amira yang sedang sibuk mengetik di laptopnya, melirik suaminya sekilas.
Rayhan mendekatkan mulut ke telinga perempuan itu. "Aku cinta kamu."
Amira tersenyum, berusaha menjauhkan diri agar tetap berkonsentrasi. "Itu rahasia?"
"Selalu jadi rahasia. Antara aku dan kamu."
"Bu Guru?" Kirana masih memegang tangannya.
Amira tersadar dan merasa konyol. Semua itu sudah selesai. Ia menarik tangannya, berganti mengusap rambut gadis kecil itu yang hari ini menggunakan bando pink berpita, berusaha menyembunyikan kegusarannya. "Pagi, Nana." Sekilas sempat dilihatnya laki-laki itu masih berdiri di sana.
Rayhan tersenyum simpul. Tangannya dimasukkan ke saku celana. Matanya beralih ke arah lain.
Amira ikut membuang muka. Ada gemuruh di dadanya. Segala kenangan berhamburan. Ia semakin kesal pada dirinya sendiri karena tidak bisa berbohong, dadanya berdebar ketika bola mata hitam laki-laki itu lurus menatapnya, seakan mengunci untuk terdiam.
Setelah semua anak-anak masuk ke kelas. Amira berdiri di hadapan mereka. Memulai pelajaran dengan doa dan ucapan 'selamat pagi'. Suara-suara itu terdengar keras penuh semangat, membuat Amira senang dan tidak kalah semangat.
"Anak-anak, sudah hafal satu sampai sepuluh yang Ibu ajarkan?"
"Sudah!" Tidak semua anak terdengar menjawab.
"Ayo, siapa yang sudah hafal? Tunjuk tangan!" Amira tersenyum riang agar menambah semangat murid-muridnya.
"Nana!" Kirana mengangkat tangan pertama diikuti dengan yang lain.
Amira mendenguk ludah. Kenapa selalu anak itu? Kenapa keadaan semakin menyiksanya? Ia ingin memilih anak lain, tetapi batinnya melarang melakukan itu. Disuruhnya Kirana maju ke depan kelas.