AMIRA
Lima tahun sudah aku menata hati setelah perceraian yang menyakitkan. Aku siap membuka lembaran baru bersama seseorang yang aku harapkan tidak akan menorehkan luka lagi.
Tanpa pernah kusangka, mantan suamiku pindah ke Yogyakarta bersama putri...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Jadi, Bu Amira sudah memutuskan siapa satu murid lagi yang akan ikut lomba menggambar?" tanya Bu Sukma sambil menulis sesuatu di bukunya.
Sejak pembicaraan ini dimulai, Amira menggigit bibir bawahnya sedemikian sering dan keras hingga terasa tidak akan pernah bisa kembali ke bentuknya semula. Otaknya berpikir keras menemukan sebuah nama, namun tidak berhasil, hingga merasa tak tahan lagi dan menarik napas panjang. "Belum, Bu."
"Saya punya satu nama. Ibu Amira bisa mempertimbangkannya." Bu Sukma mengangkat wajahnya dengan pulpen masih di tangannya.
"Siapa, Bu?"
"Raisa Kirana."
Amira tertegun dengan mata lurus menatap perempuan paruh baya di depannya. Ruangan kepala sekolah yang cukup luas terasa menyempit. Ia tak memercayai pendengarannya. "Anak baru itu?"
Bu Sukma mengangguk seraya meraih gelas berisi teh di dekatnya. Diteguknya beberapa kali dan kembali menatap salah satu guru di sekolahnya itu. "Waktu pertama kali datang ke sini, anak itu bawa buku gambar. Bagus-bagus. Anak itu juga bilang kalau dia suka menggambar."
"Mungkin saya kurang memperhatikan." Bola mata Amira bergerak menelusuri meja kayu di depannya. Gusar. Darahnya berdesir cepat, tetapi ia menjaga suara dan sikapnya tetap tenang.
"Bukan salah Bu Amira." Bu Sukma tersenyum menenangkan. "Saya tahu, melihat kemampuan seorang anak tidak mudah. Kalau Bu Amira punya pendapat atau calon lain, ya tidakapa-apa."
"Saya belum bisa berkata apa-apa, Bu Sukma." Amira merasakan jantungnya berdetak semakin cepat dan semakin cepat. Ia tidak dapat memikirkan satu cara pun. "Dalam satu minggu ini saya akan melihat bagaimana perkembangan anak-anak." Hanya itu yang bisa dilontarkannya.
"Saya terserah Bu Amira saja." Bu Sukma kembali meraih pulpen yang sempat diletakkannya dan masih tersenyum. "Buat saya pribadi, Bu Amira, memberikan kesempatan untuk Raisa Kirana tidak ada salahnya. Mengarahkan anak sesuai bakat dan minatnya, akan menjadi bekal yang cukup untuk anak itu kelak to?"
Amira mengangguk. Tangannya saling meremas dengan gelisah. Mulutnya ingin mengucapkan alasan, tapi akan terlalu pribadi dan tidak adil. Ia menatap resah Bu Sukma yang kini kembali menulis, lalu melirik jam tangannya. Tidak lama lagi waktunya mengajar. "Kalau begitu, saya permisi, Bu Sukma."
Setelah menutup pintu ruang kepala sekolah, Amira memejamkan mata sambil mengatur napas dan detak jantungnya. Percakapan yang baru saja berlalu membuat kecemasannya semakin bertambah. Ia tidak tahu bagaimana anak itu begitu menarik perhatian banyak orang—diam-diam, termasuk dirinya. Kenapa dan ada apa dengan Kirana?
Amira menghela napas panjang dan mulai melangkah menuju ruang kelas. Setiap anak memang memiliki kesempatan yang sama, juga daya tarik yang tidak kalah menarik satu sama lain. Tetapi Kirana membuat dirinya sendiri berbeda dengan temannya. Dan Amira semakin resah ketika langkahnya semakin dekat dengan pintu kelas. Anak-anak sudah ramai. Langkahnya kian melambat dan dipastikan napasnya tercekat ketika benar-benar berada di dalam.