(4.): Rooftop

724 105 1
                                    

Hai hai!
Jangan lupa vote dan komentarnya yaaw!!
Love♡

Hai hai!Jangan lupa vote dan komentarnya yaaw!!Love♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul 22.43, beberapa menit setelah selesai pesta. Ruang kerja Alen, di mana Alanska berada sekarang. Dua pria beda usia itu menatap diam kotak yang Alanska dapatkan. Hanya kotak saja yang Alanska adukan. Ia tidak memberi tahu Alen jikalau mendapat surat. Rumaisha sedang beres-beres badan dan mengobati Alinska yang mendadak terkena ulat bulu. Waktu tepat untuk Alanska berbicara dengan Alen. Bisa-bisa Rumaisha khawatir dan berujung pertengkaran dengan Alen. Seperti beberapa minggu lalu.

"Cctv Pi?"

"Nggak akan ada jejaknya," jawaban Alen membuat Alanska bungkam lagi.

Tangan kekar pria 41 tahun itu membolak-balikkan pisau dengan berani. Wajah Alen tidak berubah sejak tadi. Tetap datar, tanpa ekspresi. Alen berjalan keluar, meskipun bingung, Alanska tetap mengikuti langkah ayahnya. Ternyata Alen menuju lapangan tembak pribadi di rumah. Setelah memencet sebuah tombol di dinding, 6 buah papan sasaran panah muncul dari sebalik benteng non permanen. Pisau tadi Alen serahkan pada Alanska.

"Lempar," perintah Alen.

Sepersekian detik Alanska mematung. Setelahnya melambungkan pisau yang masih berlumur darah itu kuat. Tidak tepat sasaran, tetapi masih dalam lingkaran papan. Tanpa disuruh, Alanska berjalan, mengambil pisau yang menancap itu. Ketika sampai ditempatnya tadi, Alanska mulai melempar lagi. Berulang-ulang seperti itu sampai keringat menetes dari dahi Alanska. Jas putihnya sudah tidak baik-baik saja. Dasi hitamnya sudah Alanska lepas untuk mengikat luka sayatan pisau yang tidak sengaja mengenai lengan kirinya.

Alen mengambil pisau dari tangan penjaga. Sebelumnya, Alen memerintahkan mengambil pisau dapur yang ukuran, warna, juga ketajamannya paling sesuai dengan milik Alanska. Ternyata Rumaisha punya juga.

Cheeest!

Tepat sasaran. Alanska mengambil pasokan oksigen sebanyak yang ia bisa. Tidak jadi melempar terkahir kali. Melihat pisau lesatan Alen sempura, Alanska meregangkan ototnya sampai beberapa berbunyi. Alen membetulkan setelan jas Alanska. Melepaskan dasi yang ia pakai, kemudian memakaikan pada anak sulungnya itu. Alen membetulkan rambut Alanska yang berantakan. Mengusap lengan basah anaknya akibat darah.

"Sebagai pria kuat, dia tidak akan takut ancaman. Pria hebat harus bersiap-siap lari sekencang mungkin. Bukan, bukan lari dari kenyataan karena lemah, tetapi berlari mengejar semua yang bermain-main dengannya," Alen mengatakan semua itu masih dengan membenarkan rambut Alanska sangat pelan.

Tangan Alen, Alanska rasakan berhenti. Netra elang itu menyorot tajam dirinya, "berlatihlah, jangan malas. Kado istimewa seperti itu, tidak boleh membuat lemah. Tapi buatlah diri kita menjadi lebih kuat dan pintar." lanjut Alen menarik dasi Alanska kuat.

Sebuah pelukan tegas Alanska dapatkan dari ayahnya. Pria gagah itu mengelus lembut kepala belakang Alanska. Deru napas Alen yang teratur, membuat Alanska kembali tenang. Lama, Alen lumayan lama memeluk Alanska seperti ini. Hingga sebuah kecupan Alanska rasakan mendarat dipuncak kepalanya. Melihat perlakuan Alen yang seperti ini, Alanska semakin penasaran tentang mengapa surat itu dikirim untuknya. Juga, bagaimana seorang Alen menyikapinya begitu tenang seolah sudah pernah mengalami.

Arcanum et SecretumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang