#1_Twist : Ciao

14 0 0
                                    

"AKU ingin akrab denganmu. Sekarang adalah kesempatan menghabiskan waktu bertahan hidup. Bisa saja hubungan kita bisa lebih jau dibanding kau dengan 'nya', Fen—"

Tamparan keras kulayangkan dengan sisa tenaga melewati peragangan nyawa menelusuri titik semu. Berani-beraninya ia kehilangan akal di saat ketakutan memastikan cara kakak yang ia sia-siakan bertahan hidup sampai guru dan polisi datang 5 menit lagi.

"Sadarlah Efim, kakakmu punya ketahanan spesial. Acuan terbesarnya adalah bermalam denganku dan dirimu." Kubiarkan ia menenggelamkan wajah dalam pelukanku. Semoga ia tenang dan mampu menguatkan diri.

***

"Ciao! Haha..., sekarang aku tahu ke mana anak-anak itu menghilang, Fenya."

"Ciao? Kau serius? Di mana kau sekarang, Hochin?" Kode tanda kami bicara antar ber-3 saa sudah terucap. Memantapkan suara, netraku lurus dikuatkan Efim, pria bermata mint dan pemilik rambut jingga. Aku barusan meminjam walkie talkie nya untuk menerima tanda pembicaraan pribadi lewat tanda di toilet perempuan yang Hochin tinggalkan sekitar 4 menit lalu.

"Ah, ternyata begitu."

Tanganku hilang kendala, kembali gemetar mengkhawatirkan realita pasti. Hochin tengah meregang nyawa dari nadanya yang serba tahu itu.

"Kau sudah sadar tapi belum sepenuhnya menjawab seluruh intsingmu, 'kan? Kalau terus begini, hanya selisih jam raga kita akan bertemu dan bersama selamanya."

"Hochin? Apa kau baik-baik saja? Bisakah kamu berjanji akan bermalam di rumahku nanti? Aku sudah janji akan main rumah tangga-an dengan Hochin 5 tahun yang lalu." Jujur saja aku tidak mau melepaskan jari dari tombol berbicara karena belum siap menerima kebenaran di ujung percakapan ini.

"..."

"Hochin?"

"Sebentar, aku terpesona kamu mengingatnya."

Senyumku terulas dengan bodohnya meski tahu dari seberang sana Hochin pun tidak akan mengetahuinya. Tapi itu kalau hubungan kami sekadar kenalan. Dalam 12 tahun bersama hubungan kami sangat selaras bila disandingkan kata belahan jiwa.

"Pada akhirnya tidak akan ada yang berubah, Feny,..."

"Hochin!"

"Mungkin..."

"Hei, kau tahu kalau aku akan menjitakmu jika nada bicaramu sempat sepesimis ini, heh?" Napasku terhela usai menggigit bibir atas sembari menggelengkan kepala guna mensugesti diri bahwa semua keinginan "semoga"-ku menjadi nyata.

Semoga aku bisa memasakkan kari untuknya, entah kenapa pandanganku melebur akan genangan air yang kutahan tidak turun. Efim akan merampas walkie-talkie nya kalau tahu kakak angkatnya mendapat firasat samarku.

"Kamu tidak sendiri, Feny. Informasi yang kudapatkan tadi tidak terlalu banyak, namun kita beruntung bisa lega jika memenuhi suatu kondisi dan korban lain tidak akan lebih dari 1."

"Sial, aku bisa merasakan usahamu menjaga intonasi suara demi terdengar tegar, Chin," tukasku menahan egois untuk tidak mengizinkannya bicara lagi. Lalu lihat, siapa yang kehabisan kata-kata sekarang?

"Rupanya Feny sudah menjadi dewasa hanya dalam 24 jam terakhir, huh? Aku yakin Feny-ku tertular kebiasaan mengumpat dari adik tersayangku itu. Mengakulah, Efim!"

Sengaja kutahan tanganku pada lubang suaranya agar Efim tidak mendengarnya jelas. Tentu ini berhubungan erat dengan hipotesis kami di awal.

Karena situasi tidak mengizinkan aku harus menahan pipi bersemu mendengar Hochin menyatakan nama panggilan kesayangan terhadap seorang Fenya dengan kepemilikannya. Bisa kau bayangkan itu cukup romantis bagi gadis baru gede tanpa asupan bahasa cinta dari pengasuhnya.

Tugas ForwistreeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang