DIKA

7 0 0
                                    


Dalam hidup kadang kita terpenjara oleh kepala kita sendiri tersebab tidak cukup berani untuk bersuara tentang beberapa hal. Ini bukan tanpa alasan, sebab mekanisme bagaimana otak kita berproses selalu disebabkan lebih besar oleh hal-hal yang kita alami bahkan hal yang hanya sekedar kita temui di orang lain. Kita dipaksa untuk menjadi kuat, terlebih laki-laki. Orang-orang di sekitar kita sudah memiliki paradigma itu sejak usia dini tentang laki-laki itu harus menjadi kuat dan tangguh untuk dihadapkan dengan berbagai pertarungan hidup. Amat racun jika meneteskan airmata. Tak terkecuali juga dalam menghadapi pertarungan perasaan terhadap manusia lain satu ini, perempuan. Aku tidak sekali pun diberi keraguan oleh Ibu dan Ayah, bahwa aku harus memerangi perasaan terdalam sebelum mencapai kesejahteraan untuk diri sendiri, oleh karena itu mencukupi diri sendiri adalah hal yang utama harus kucapai sebelum menyerah terhadap perasaan-perasaan ingin bersama seseorang. Cukup dalam kesehatan mental dan cukup dalam materi. Namun  sepanjang perjalanan hidupku aku bukannya sama sekali tidak mengijinkan perempuan menjadi bagian dari berbagai peristiwa mencapai kesejahteraan itu, sering kali aku berhadapan dan terlibat dengan mereka layaknya mahkluk sosial lain, dan juga laki-laki lain pada umumnya, bercengkrama, berbagi ide, berbagi cerita, dan dekat secara emosional hingga berujung pernah menjadi orang yang paling melukai di saat aku tidak pernah sekali pun teringin menciptakan luka di hati mereka. Kepada perempuan aku melihatnya sebagai bentuk ciptaan Tuhan yang paling butuh dilindungi, didengar dan ditemani. Namun rupanya upayaku menjadi manusia paling melindungi terhadap banyak orang, kadang kala menjadi kekurangan di mata perempuan.

“Kamu ga sadar kalau apa yang kamu lakuin itu udah buat orang lain jadi baper?”

“Kamu itu ga peka, Dik!”

“Sepanjang aku nemuin cowo, ga pernah aku nemuin kayak kamu, pengecut!”

“Sebenarnya kamu ini punya perasaan atau nggak sih, Dik?”

“Kamu normal gak sih, Dik? Masa secantik Karina kamu ga tergugah?”

Ya benar, kalimat-kalimat demikian, sering kali membuatku bertanya pada diri sendiri, apa benar aku tak punya perasaan? Apa benar aku sedemikian kerasnya menjadi manusia hingga tak mampu membalas perasaan mereka? Hingga pernah suatu ketika aku mencoba untuk mengingat moment, pernahkah hatiku berdetak beda saat menatap dan ditatap oleh salah satu dari mereka. Lalu aku teringat, rasanya benar-benar hangat tapi aku lupa kapan itu dan pada siapa. Apakah pada Karina? Ratih? Atau Jingga yang selama ini sangat baik, sudi memberikan ku sedia telinganya untuk mendengar cerita dan sudi pula berbagi kisahnya. Ah apa aku memang tidak peka? Rasanya mengenal berbagai perempuan dalam hidupku memang cukup membuat perasaan hangat itu hidup. Mungkin benar saja, aku juga sebenarnya tau kalau itu sebenarnya perasaan tertarik, tergugah dan ingin mereka tetap ada.

“Sebenarnya kita ini apa?”

Pelan ku dengar Jingga melontarkan tanyanya dipenghujung aku mengantarnya pulang selepas menghadiri acara musik kesukaan kami. Kala itu aku tak punya jawaban lain selain apa yang aku pikirkan dan aku yakini.

“Kita teman kan? Apa lagi? Kita ini manusia-manusia hilang, seperti yang kamu bilang. Bertemu untuk saling ditemukan. Aku nyaman berbagi cerita sama kamu, kamu juga nyaman kan? Kita 100 persen teman hehe”

Saat itu aku menjawabnya dengan bangga, hampir sama bangganya memiliki teman seperti Jingga. Satu-satunya teman perempuan yang kuanggap paling hebat dalam menjaga rahasia. Namun perasaan seperti itu rupanya melukai Jingga.

“Dik… teman itu gak gini loh rasanya.”

“Rasa gimana, Ga?”

“hhh Boleh aku mengurainya malam ini?”

Kulihat sedikit ada decakan di bibirnya saat itu, seperti ingin mentertawakan namun juga terasa membingungkan. Wajahnya sedikit tidak senang.
Lalu beberapa hari setelah ia menguraikan perasaannya selama ini, aku kembali dijauhi lagi oleh perempuan dan lagi kali ini mendapatkan pandangan paling berdosa. Tak terampuni. Aku tau aku melukai akhirnya dengan jawaban tetap pada akhir, bahwa aku ini tetap tidak punya jawaban lain atas hubunganku dengannya, teman.
Aku sangat terguncang saat Jingga pun harus menjauh kala itu. Bagaimana tidak? Ia temanku yang kupikir akan berbeda dengan perempuan lainnya, kupikir akan paham bagaimana peranku yang sedang aku coba jalani. Melindungi, mendengar, dan menemani. Sebatas itu.
Kesepian melanda beberapa minggu setelahnya. Aku tetap menjadi manusia yang paling didiamkan oleh Jingga, walau aku berucap maaf dengan yakin benar kusuarakan dan sampai di telinganya. Entahlah, mungkin hatinya saat itu menulikan semua pengampunan. Namun ada kabar baiknya, setelah 2 bulan berlalu, Jingga akhirnya paham bahwa aku ini memang bukan bermaksud membuat orang lain menjadi berharap. Aku hanya sedang berada dalam peranku. Kami pun kembali lagi berteman dengan baik.

****

“Kenalin, Ra, ini Jingga”

Kulihat wajah Sarah membeku seketika. Hilang teduhnya di sana, saat kukenalkan Jingga padanya. Tidak seperti pertemuan kami beberapa minggu yang lalu, wajah bahagia saat kami bertemu lagi setelah kurang lebih hampir 20 tahun tidak bertemu. Iya, benar. Sarah adalah salah satu teman perempuanku dalam kisah ini. Tepatnya teman kecilku. Yang dulu berjari imut dan hatinya yang sangat mudah juga terluka oleh anak-anak nakal lain. Aku kerap menceritakannya pada Jingga. Sampai mata berbinar, kata Jingga. Pada saat itu aku jadi menyadari sesuatu, bahwa perasaan hangat yang pernah ada adalah saat-saat aku mengenal Sarah kecil dulu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 07, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

TEMAN HIDUPWhere stories live. Discover now