Pertemuan

85 1 0
                                    

Kota ini ramai
Kota tua
Pelosok negeri yg pernah menyimpan kisah klasik 2 hati
Mungkin jariku kala itu setengah jarinya. Aku menggenggam tangan boneka. Dia menggengam bambu tua yang hampir menguning.

"Sarah..."

Teriaknya sambil melambai dari jarak 18 meter dariku. Suara yang hampir 20 tahun terakhir ini tidak pernah lagi kudengar. Sejak bermain layangan yang dibuatnya dari bilah bambu tua, sejak talinya putus, lalu entah layang-layangnya ke mana, selepasnya kami lelah harus mengejarnya lagi. Kami pun memutuskan berhenti menerbangkan layangan hingga berganti musim permainan yang lain.

Dulu kami sering bermain di lapangan bola tempat anak-anak menjelang magrib bermain futsal, dekat alun-alun yang sesekali kami gunakan menerbangkan layang-layang itu dan permainan yang lain, seperti misalnya gobak sorong. Sekarang lapangan itu sudah dijadikan pusat perbelanjaan. Permainan tradisional itu otomatis berubah pula menjadi game modern.

"Dika..."

Ujarku pelan, agak terkejut..
Ia setengah berlari mendekat dengan senyum lebar memperlihatkan giginya. Rapi dan bersih.
Seperjalanan ia mendekat aku memikirkan kembali betapa kami tidak banyak saling bicara dulu, paling hanya sekedar bertanya ;

"Sedang buat apa?",

"Aku boleh ikut main, yah?"

Dan jawabannya selalu singkat;

"Ada deh",

"Emm ok"

Mungkin itu percakapan yang bisa dikatakan sudah cukup lama saat-saat dia hendak pindah dari kota ini dan sejak aku tau dia hendak pindah, akulah yang banyak diam akhirnya.
Sama dengan sekarang, aku memilih diam di tempat sementara ia berjalan cepat kemudian melambat pada jarak kami yang sudah hampir 5 meter. Dan senyum itu masih melekat awet di wajahnya sejak awal ku lihat tubuhnya di 18 meter beberapa detik yang lalu.

"Hei.. kapan kamu datang?"

Aku mengerutkan keningku sembari tersenyum-senyum aneh.

"Sehari yang lalu" Ujarnya.

Ia kali ini sangat dekat. Disodorkannya tangannya. Mungkin hendak menyalami. Buru-buru aku mengangkat tanganku ke depan dada sembari bergumam dalam hati "maaf dika". Tentu saja Ia mengerti untuk hal itu. Sebab dulu ia yang mengajarkan.

Kami masih saja berdiri, dengan aku masih menggengam gulali di samping penjualnya. Sesekali ia melirik gulali di genggamanku. Mungkin sedikit bertanya atau sudah buru-buru berpikir gulali itu untukku sendiri.

"Ehh iya kita ngobrolnya di sana yuk"

Ku ajak Dika pada sebuah bangku taman. Tidak beberapa jauh dari kami, ada beberapa anak sedang bermain mengingatkan kami dulu yang juga sebahagia mereka.

"Ohh boleh..boleh.. aku tadi mau ke rumahmu ehh ternyata ketemunya di sini"

"oh ya? Memangnya kamu kira rumahku di tempat yang lama?"

Candaku sedikit membuatnya kulihat hampir menghilangkan raut bahagia.

"Yaa kalo pun sudah gak sama paling tidak orang-orang di sekitar kamu dulu tau kamu di mana"

Ah iya, jawaban dia itu benar-benar membuatku sedikit jera melontarkan candaan. Anehnya aku merasakan ada udara hangat yang menyapu pipiku sore ini. Namun kutanggapi saja semuanya dengan senyum.

"Apa kabarmu sekarang?"

Tanyanya lebih dulu sebelum kami duduk.

"Seperti yang kamu lihat, aku sehat dan sekarang sama tinggi denganmu"

TEMAN HIDUPWhere stories live. Discover now