Kenduri

42 0 0
                                    

"Bu, Sarah ga ikut yah besok"
Amat pagi aku mengajukan permohonan kepada Ibu. Ia tengah duduk di dipan dapur sedia diri menghidangkan sarapan sedang aku mendekati perlahan dari balik pintu.

"Lah kenapa Ra?"

"Agak sibuk, sebenarnya..."

Lama aku memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ibu agar tidak diikuti pertanyaan lainnya. Susah sekali bagiku berdamai dengan kecemasan-kecemasan ketika kelak aku ikut hadir ke rumah keluarga Dika esok hari. Aku takut keberadaan perempuan yang sudah kubayangkan sejak 2 minggu lalu membuatku merasa payah karena aku kalah dalam segi apa pun di hadapannya kelak.

"mm besok Sarah ada janji sama teman"
Kuputar bola mata dengan durasi amat pelan duduk membelakangin ibu tak berani menatap, kupikir jawabanku cukup logis untuk mampu menolak undangan Dika beberapa waktu lalu saat ia berkunjung ke rumah kami.

"Dika juga temanmu, apalagi dia juga sudah mengundang sejak jauh-jauh hari sebelum hari H, apa ga enak nanti sama Dika?"

Pernyataan Ibu memang ada benarnya kupikir dan rupanya alasan yang kuanggap logis beberapa waktu lalu tidak cukup kuat menghilangkan pentingnya posisi Dika selama ini apalagi ia sudah kami kenal sejak aku masih di bangku SD.

"mmm gimana ya bu, soalnya ada masalah kerjaan yang pengen dibicarain"

"ya masa ga bisa dipending dulu, sehari aja loh Ra, tumbenan kita lagi ngumpul sama Mas Imran sama Mba Mita juga"

"Iya juga sih bu. Mmm Okelah nanti Sarah kasih tau teman dulu masalah kerjaan tadi"

Dengan terpaksa aku mencoba mengiyakan untuk ikut esok hari, karena memang benar apa kata Dika jika aku tak hadir.
Untuk beberapa saat ku putuskan dengan lapang dada sebab besok aku tak sendiri. Ada Ibu, Dan Keluarga Ka Imran yang menjadi penopang sekaligus tameng atas kecemasanku itu. Besok aku akan bersembunyi di balik mereka, menutup diri dari orang-orang. Besok aku tidak ingin mencolok. Aku ingin diam di tengah Kenduri.

***

Keesokan harinya selepas sholat subuh, kubenarkan niat untuk semata memenuhi undangan. Lama aku berdoa meminta agar diberi kedamaian. Berdoa pula aku agar hari Istimewa kelurga teman kecilku yang satu itu diberikan kelancaran.

"Waalaikumsalam, ya Hallo nak Dika..
Ohh iya jadi. Ini kami sudah siap-siap, berangkat sama Imran nanti, iya Amin"

Kudengar ibu bicara dengan mas Dika di telepon. Rupanya kehadiran kami  amat penting sampai-sampai subuh begini sudah dipertanyakan kepastiannya. Oleh karenanya aku tersenyum menyadari itu. Dika memang bukan orang mudah lupa meski akrab keluarga kami dengan keluarganya sudah terjeda bertahun-tahun.

Sesampainya di gerbang tempat acara, kami disambut dengan pemandangan karangan bunga Krisan Putih dikombinasikan dengan warna hijau daun. Kemudian semakin masuk ke dalam, ada banyak macam perpaduan warna bunga segar lainya.
Amat romantis dan mewah.
Kami disambut pula dengan baik oleh penyambut tamu, dipersilakan duduk dengan hidangan kenduri berbagai macam menu, ada rendang, rawon, bakso, urap, sayur capcai, ayam karih dan menu tambahan lainnya.
Kami memilih kursi paling belakang. Sebenarnya aku yang menginginkan demikian, agar jauh dari depan. Tentu saja karena aku ingin bersembunyi seperti rencanaku kemarin.

"Cantik ya perempuannya"
"Iya, kudengar juga ia baru lulus kuliah tahun ini"
"Nah itu tu yang bagus, selesai sekolah udah ga pusing mikirin jodoh wkwkwk"

Ku dengar bisik-bisikan orang  kiri kanan memuji perempuan jauh di depan sana. Aku tidak ingin menengok bahkan mengintip saja aku tidak berani. Cukup dari orang lain aku tau tak perlu dari mataku sendiri.

"Suaminya juga sangat cocok bersanding dengannya"
"Pasangan sempurna"

Ah sedikit kesal rasanya kenapa hampir semua orang terus memuji pasangan di depan sana. Tidak tahukah mereka bahwa tidak semua orang harus menikah cepat setelah lulus kuliah. Tidak tahukah mereka bahwa tidak harus semua menjadi pasangan sempurna untuk amat cocok bersanding di depan sana.

Kali ini aku jengkel sampai lupa sedang bersembunyi hingga tidak sengaja kutegakkan kepala tepat menghadap tahta Raja dan Ratu sehari itu.
Sontak degup jantung yang tidak pernah diminta untuk berdetak lebih cepat, seolah mengejar kereta yang pergi tiba-tiba. Aku terbirit, hatiku yang menjerit. Kulihat mereka memang benar serasi, amat pantas menjadi sempurna dalam himpunan orang yang berbahagia.

Aku turut bahagia, terlebih melihat senyum pria itu..
Bukan senyum milik mas Dika.

TEMAN HIDUPWhere stories live. Discover now