Bunga Pernikahan

48 1 0
                                    

3 hari setelah pertemuan itu aku sering merasa gelisah. Sebenarnya benarkah Dika akan melamar seorang perempuan? Seperti apa perempuan yang akan dilamar Dika itu? Entahlah ini benar-benar cemburu atau bukan tapi yang pasti sebagai temannya, aku berhak tahu bukan? Ahh ku pikir aku sedikit menyesal kenapa aku tidak meminta nomor ponselnya hari itu.

"Sarah hari ini kaka minta tolong ya, kamu nanti sama Mita ke toko bunga Vechira, gantikan kaka sebentar ke sana, tadi kaka udah kasih tau ke pihak tokonya kalau kamu dan Mita yang ngambilkan, soalnya kaka ada janji temu nih siang nanti, ga keburu"

"Iya, ka, tapi kalau boleh tau bunga untuk apa ka?"

"lohh kamu belum tau? Kemarin kaka sebenarnya udah cerita ke mama kalau kaka ke sini kemaren kan ada orderan WO dari klien di sini, jadi ceritanya bunga itu buat melengkapi dekorasi ruangannya, sore ini mau di pasang"

"ohh.. siapa ka? Dika ya?"

"Dika? siapa? Ahh bukan.. namanya Wali, Wali Radhi"

Mendengar nama itu aku sedikit lega ternyata bukan Dika. Sebenanya memang tidak mungkin Dika. Pertemuannya dengan perempuan di seberang telepon waktu itu kan baru akan dilaksanakn 4 hari lagi. Aku hanya agak sedikit gugup, mengira pertemuan Dika bisa saja dipersingkat.

"Hallo, wa alaikum salam... iya, benar, di mana? Ohh di caffe Frame? Jam berapa? Ok saya segera ke sana"

Ka Imran pun langsung segera berangkat dengan sepeda motor tua milik almarhum ayah yang sampai sekarang masih terawat dengan baik. Tinggal aku dan Ka Mita di ruang tamu itu, istrinya Ka Imran.

Tak berapa lama pun kami juga segera berangkat menggunakan mobil ka Imran. Sedang 2 anak mereka sementara ditinggal di rumah bersama Ibu. Memang saat ini masih dalam libur panjang bagi Fahzan, anak pertama Ka Imran dan Ka Mita.

"Bu titip Fahzan dan Rida ya"

"Oh iya nak Mita, tenang saja.. hati-hati di jalan ya"

"Iya bu, Assalamualaikum.."

"wa Alaikum salam.."

Di perjalanan menuju toko bunga Vechira aku sekilas melihat Dika saat kami berhenti di lampu merah jalur dua. Kami berlawanan arah. Ku lihat Dika ke arah caffe Frame yang diucapkan ka Imran beberapa saat yang lalu saat menerima telepon. Terbesit dalam pikiran kalau Ka Imran akan menemui Dika, tapi aku membiarkan diriku ragu kali ini. Takut salah lagi dalam berspekulasi. Toh siapa saja memiliki urusan masing-masing. Bukan berarti hanya karena ka Imran dan Dika pergi ke tempat yang sama dalam waktu yang sama lantas mereka bertemu duduk di meja yang sama, lalu arah pembicaraannya adalah pesanan WO hanya karena ka Imran menjalani bisnis itu. Itu sama sekali hal yang tidak penting aku pikirkan sebenarnya. Kalau pun bertemu, apa hak ku bertanya-tanya? Sekali lagi kalau pun Dika akan menikah bukankah pertemuan itu dilaksanakan 4 hari lagi? Dan belum tentu juga langsung akan menikah di waktu yang dekat.

"ahh sudahlah.." Ketusku tiba-tiba sampai-sampai Mita yang sedang menyetir sedikit terkejut.

"Kenapa Sar?"

"emm tidak apa ka.. "

"sepertinya kamu gelisah akhir-akhir ini? Kepikiran apa?"

Ka Mita akhirnya mempertanyakan hal yang aku takutkan. "kepikiran apa" itu adalah pertanyaan singkat yang jawabannya terlalu panjang, tentu saja aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya.

Aku diam dan menunduk sebentar setelah ka Mita mempertanyakan itu, hampir 1 menit aku memikirkan apakah aku harus curhat ke ka Mita soal gelisahku ini .

"Ka.. Ka Mita dulu kenal Ka Imran di mana?" kulihat Ka Mita tersenyum mendengar pertanyaanku itu

"Lohh ko Tanyanya itu sih Sar...hehe.., kamu lagi PDKT ya.."

"mm bukan itu ka.. hanya iseng, ingin tahu saja, siapa tahu bisa jadi bahan tulisanku, hehe"

Untung saja aku punya celah menghindari kecurigaan ka Mita yang sebenarnya juga tidak tepat sebagai alasan hal yang membuatku gelisah. Aku dan Dika tidak pernah melakaukan hal itu dalam kata lain kami hanya teman biasa, yang dipertemukan lagi sekarang dalam keadaan masih sangat biasa. Tidak ada hubungan istimewa.

Beberapa saat kemudian, kami telah sampai di Toko Bunga Vecira. Beberapa cerita Ka Mitha di perjalanan soal perkenalannya dengan Ka Imran, membuatku melupakan sejenak tentang Dika di benakku. Lagi pula tidak baik berlarut-larut memikirkan orang lain yang sudah memiliki, aku sadar itu hanya akan membuatku semakin patah jika kelak kenyataannya perasaanku sudah sangat terlambat untuk diakui. Intinya Dika hanyalah temanku, dan aku adalah temannya.

"Sarah.. coba lihat bunga ini, ini sering sekali digunakan sebagai bunga hias di acara pernikahan lohh.."

"Ohh ya ka? Kenapa memangnya?"

"Yaahh salah satu alasannya ekonomis dan banyak dijumpai, tapi yang istimewanya ini memiliki arti bunga Pemersatu bagi budaya Cina. Kalau kaka sukanya yang warna putih. Menurut kamu gimana?"

"Bagus ka.. warnanya melambangkan kesetiaan dan kejujuran itu kata banyak orang hehe "

"Benar sekali Sarah, kamu suka bunga apa? Mumpung di Toko bunga dilihat-lihat dulu sebagai referensi, siapa tau nanti kalau sudah ketemu jodoh dan menikah kamu tidak bingung lagi ingin menghias ruangannya dengan bunga apa hehe"

Pernyataan Ka Mita itu membuatku terkejut sekaligus tersipu. Entah kenapa ka Mita berpikir seperti itu. Tapi ada perasaan senang juga memikirkan hal yang tabu yang entah kapan itu, sekenanya saja aku menjawab sebuah nama jenis bunga.

"Kaktus?" Ujarku setengah dengan nada tanya sambil melirikkan mata ke pojokan toko bunga itu yang di sana berderet jenis tanaman padang pasir yang satu itu, Kaktus.

"Kaktus? Yang benar saja kamu Sar.. Jarang lohh bunga itu digunain.. tapi unik juga, walau sebenarnya selera kamu agak sedikit aneh.. hehe"

Aku tau ka Mita sebenarnya tau kalau aku hanya asal sebut. Tapi beberapa saat aku jadi berpikir bunga kaktus juga menarik untuk dibicarakan dan dijadikan bunga hias di pesta pernikahan.

"Ka Mita tau artinya apa?"

Ka Mita hanya menggeleng, aku pun juga sebenarnya tidak tau. Tapi aku ingat bunga Kaktus hidup seperti apa. Ia akan menyimpan air walau diberi sedikit apa pun dan akan tetap bertahan dengan air itu. Yaa benar bunga Kaktus itu tangguh. Dan merawatnya harus pula dengan ketangguhan dan kesabaran untuk bisa melihat bunganya mekar. Bukan hitungan hari, tapi hitungan purnama.

Setelah selesai urusan dan kami hendak keluar dari toko bunga itu, seseorang dari dalam toko memanggil namaku.

"Mba Sarah.., tunggu.."

Aku yang sudah siap membuka pintu mobil, terjeda, dan membalikkan tubuh ke arah suara itu

"Ya?"

"Bonus untuk mba Sarah" Pegawai toko bunga itu memberiku satu pot kecil berisi bunga Kaktus jenis Astrophytum yang sudah berbunga. Mungkin karena kami datang membeli banyak bunga di toko ini.

"Ohh terima kasih banyak.." Dengan senang hati aku menerima bunga kaktus gratis itu.

Sepulang dari Toko Bunga Vechira, aku kembali melihat Dika. Kali ini lain lagi tempatnya. Saat kami berbalik arah. Aku melihatnya ke arah Toko bunga yang kami kunjungi tadi. Sekilas pula ia berbicara dengan pegawai toko bunga yang memberiku Bunga Kaktus tadi di depan pagar Toko Bunga itu. Lalu tanpa sengaja ku lihat Dika menatap ke arah kami, lekat sekali.

TEMAN HIDUPWhere stories live. Discover now