Manusia itu menggelikan. Aku tidak suka manusia. Mereka begitu kejam dan bengis. Aku bingung bagaimana mereka punya nyali untuk memberi sebutan sebagai manusia sementara yang sering aku dapat cuma pecutan sapu dan nyeri dari tendangan kaki, ketika yang kupinta cuma meminta sisa-sisa makanannya.
Hanya itu saja.
Aku tidak membuat baju mereka kotor atau pun sepatu mereka ternodai — sungguh, di banyak waktu, aku bahkan belum terlalu dekat mendekatinya, baru menyapa pelan, tapi mereka sudah mengusirku jauh-jauh.
Aku sering bertanya tentang kemalangan ini. Apa karena aku tidak secantik temanku yang lain? Apa karena pola di tubuhku tidak seindah temanku yang sering aku lihat dari kandang yang sama indahnya? Apa karena buluku tidak selembut kucing-kucing yang mereka bawa? Apa mungkin hanya karena nasibku saja yang kurang beruntung karena lahir di jalanan?
Aku tidak mengerti.
Padahal mereka sama sepertiku, kucing-kucing yang mereka gendong dan usap dengan lembut itu sama sepertiku.
Memang, sih, mereka kelihatan lebih manis, tapi apa itu penting, ya? Mereka juga kucing, tapi aku tidak paham kenapa mereka memerlakukanku begitu berbeda.
Tatapan mereka sewaktu melihat kawanku lain sangat lembut sekali, matanya melengkung, mulutnya tertawa, terlihat bahagia, seperti ketika aku tidak sengaja menemukan daging, tapi kemudian saat mereka melihatku, wajahnya mengerut, rasanya seperti aku sebuah kotoran yang harus dilenyapkan saat itu juga.
Lalu kalau sudah begitu, aku bakal merasa ketakutan. Takut sekali, sebab setelahnya pasti mereka melancarkan teriakan dan tendangan yang seringnya gagal aku hindari.
Terang saja aku segera kabur, lari dari mereka, mengambil tempat yang lebih jauh lalu memandangi manusia-manusia keji itu makan dengan lahap, membayangkan itu diriku yang mengoyak daging tersebut.
Ah! Pokoknya aku tidak suka mereka!
Tapi menyebalkannya, bagaimana pun, insting dan rasa lapar selalu membuatku kembali ke manusia. Mengeong acak yang aku harap mereka artikan sebagai raungan kelaparan. Apalagi, kini tempat sampah yang biasanya menjadi tempat aku mencari makan sudah tidak bisa aku gunakan. Mereka membungkusnya rapi sekali. Aku tidak tau sesuatu apa yang mereka pakai untuk membungkusnya, tapi itu membuatku kesal. Aku jadi tidak bisa memakannya. Susah sekali untuk membukanya.
Jadi hari ini aku habiskan dengan terus berjalan. Rumah ke rumah. Dari satu tempat sampah ke tempat sampah lainnya. Tapi sayangnya aku tidak mendapat makanan yang cukup untuk membuang rasa laparku.
Duh, kenapa juga, sih, aku mudah lapar?
Kucing tidak mempelajari tentang hari, tapi aku pikir sampai sekarang aku sudah menyusuri tempat-tempat yang ada sangat lama. Pemandangan dari satu tempat ke tempat lainnya selalu baru. Baunya pun berbeda-beda. Tapi aku tidak memedulikan itu, mau kumuh atau pun indah, yang aku pikirkan cuma makan, makan, dan makan. Ke mana pun aku pergi yang kucari itu makanan.
Langit sudah gelap waktu aku menjejaki jalanan yang sepi. Suara manusia yang terdengar dari kejauhan membuat keempat kakiku terhenti. Cuping telingaku mengacung awas. Tapi bukan obrolan-obrolan itu yang membuatku tertarik.
Aroma makanan! Aku mencium aroma makanan!
Tanpa diarahkan, aku langsung berlari menuju sumber aroma itu.
Ada dua orang yang tengah saling bicara dan satu di antaranya membawa sesuatu di genggaman, sesuatu di mana aroma itu berasal.
Secepat kilat aku langsung mendekati. Bersuara kencang untuk menarik perhatiannya. Aku terus mengikuti langkahnya sembari terus memanggil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupu dan Tuan Berwajah Kuyu ✓
Short StoryTatapannya amat sedih, sampai kupikir mungkin dia punya kehidupan yang lebih malang dariku. © hidrolisis, 2021