(vi)

30 16 1
                                    

"Bajingan tolol itu," sungut Tuan Kuyu, aku langsung berjengit mendengar suara yang cukup lantang tersebut. "Seharusnya aku yang dapat promosi itu. Sialan, dia menuduhku setelah kerja keras yang kulakukan. Berengsek. Bajingan."

Wajahnya yang memang terlihat suram kini makin kusut kelihatannya dan tambah menyeramkan waktu bicara barusan.

Kini dia memandangku, rasa awas yang membuatku ingin menghindar tiba-tiba menghilang melihat tatapannya yang sudah tidak semenyeramkan tadi. 

"Maaf, aku mengejutkanmu, ya," katanya sambil mengelus kepalaku. "Aku dapat hari yang buruk."

Hari yang buruk? Dari ekspresi wajahnya, selain ketika dia bercerita tentang manusia bernama Diana, aku pikir dia selalu punya hari yang buruk.

"Makananmu sudah habis?"

Sudah dari tadi. Tuan tidak lihat sedari tadi aku sudah menjilati cakarku sambil berbaring di sebelahmu?

Aku bersuara lalu dia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Kemudian, baru kusadari dia menggenggam sesuatu di selipan jarinya. Sesuatu yang mengeluarkan asap ketika dimasukkan ke dalam mulutnya. Aku baru pertama kali melihat tuan dengan barang seperti itu.

Aku tidak suka ini. Dia jadi lebih banyak terdiam.

Tuan, ayo katakan sesuatu. Aku senang mendengarmu berbicara. Bicara apa saja.

Asap cukup tebal keluar dari bibirnya sebelum tuan melihatku, lalu selanjutnya kutemukan diriku di pangkuannya. Seketika rasa hangat langsung merayapi badanku.

Jemari tuan itu menyentuh cuping telingaku lalu turun menuju leher. Kudengar hela napas panjang dan asap tebal kembali terlihat di atas kepalaku.

Aku tidak suka baunya.

"Waktu pertama kali menemukanmu aku seperti melihat diriku waktu dulu," katanya. "Satu malam aku diajak oleh ibuku keluar. Aku tidak tau kami ingin pergi ke mana, lalu saat aku mengeluh perutku lapar, dia menyuruhku menunggu di pinggir jalan. Katanya nau membeli makanan untukku. Tapi setelah itu dia tidak pernah kembali, meninggalkanku sendiri dan kelaparan."

Tuan itu menunduk, usapan yang sempat terhenti kini dia teruskan. Sudut bibirnya terangkat samar, tapi tidak seperti senyum yang biasa dia tampilkan, senyumnya kali ini membuat badanku kedinginan. Mengingatkanku pada anak-anakku yang kecil dan rapuh.

"Pupu ..." Tuan Kuyu mendongak kembali, mengisap sesuatu itu sekali lagi. "Apa kamu pernah merasa kesepian?"

Kesepian?

Aku tidak paham apa itu, tapi sepertinya itu mengerikan. Itu mengerikan karena membuat Tuan Kuyu terlihat amat sedih. [...]

Pupu dan Tuan Berwajah Kuyu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang