"Bulumu bagus," kata tuan itu di suatu waktu. "Pola di lehermu unik."
Itu adalah pujian pertama yang aku dengar. Aku tidak pernah mendapat ungkapan seperti itu. Sebenarnya aku juga tidak peduli tentang rupaku, tapi ketika mendengarnya entah kenapa aku merasa sangat senang.
Aku langsung mengeong, mengibaskan ekorku.
"Tapi sayang, kamu kumal."
Oh?
Tapi tidak apa-apa, yang penting tuan tadi bilang buluku bagus.
"Kamu betina?"
Iya! Aku betina!
Aku melihat senyumnya terulas tipis kala aku mengitari kakinya. Awalnya, aku kira dia orang yang tidak bersahabat. Auranya seperti manusia-manusia berbadan besar yang sering membuat badanku kesakitan, tapi ternyata dia orang yang baik, dan yang terpenting dia memberiku makanan!
Selama dia memberiku makanan, aku nyaman berada di dekatnya. Itu jadi mengingatkanku kalau makanan yang ia beri malam ini sudah habis. Aku pun sudah kenyang dan tidak ada sesuatu yang harus kulakukan.
Lagian, memang apa yang bisa aku lakukan? Tidak banyak yang kucing liar luntang-lantung di jalanan bisa lakukan. Tiap hari aku cuma mencari makan kalau lapar, minum kalau haus, itu-itu saja.
"Namaku Jo, singkatnya begitu," katanya. "Kamu punya nama?"
Nama? Aku pikir aku tidak membutuhkannya.
Tapi aku tetap bersuara untuk menjawab.
"Tidak, yah. Kalau begitu akan aku beri nama."
Lalu sosok itu terdiam, terlihat berpikir. Aku jadi penasaran apa yang dipikirkannya.
"Jack? Bagaimana dengan Jack?"
Jack? Aku tidak tau, tapi itu tidak buruk.
"Tidak. Itu terlalu maskulin, kamu kan perempuan."
Apa itu maskulin?
"Dan aku takut kamu malah tenggelam di laut."
Tenggelam? Itu mengerikan. Aku kan tidak suka air.
Selagi ia berpikir, aku hanya diam dan menyibakkan ekor.
"Maaf ya, aku payah memberi nama," katanya. "Bagaimana kalau pupu? Karena bulumu berwarna putih?"
Pupu?
"Kamu suka itu?"
Aku mengeong sebagai jawabannya. Senyum yang tuan itu berikan kini makin kelihatan.
"Kalau begitu aku akan menamaimu Pupu." [...]
KAMU SEDANG MEMBACA
Pupu dan Tuan Berwajah Kuyu ✓
Short StoryTatapannya amat sedih, sampai kupikir mungkin dia punya kehidupan yang lebih malang dariku. © hidrolisis, 2021