(v)

19 14 0
                                    

"Pupu?"

Itu pasti Tuan Kuyu!

Terang saja aku langsung berlari menuju suaranya, tapi rasa nyeri di kakiku menyendat langkahk kakiku. Seberapa pun keras aku melangkah, rasanya aku tetap di situ-situ saja.

"Pupu?"

Aku di sini tuan!

Bisa kulihat sosok tuan itu dari kejauhan. Meski tertatih-tatih, aku terus meniti langkah.

Ya ampun sakit sekali.

Selanjutnya, tanpa kuduga tuan itu berlari ke arahku. Ekspresinya tampak ketakutan. "Aku kira kamu tidak akan datang," katanya lalu berjongkok di depanku.

Sejak menghabiskan banyak waktu bersamanya, sedikit banyak aku jadi lebih tau tentang ekspresi manusia dan barangkali karena itu, kini aku bisa meraba rasa sedih di wajah Tuan Kuyu.

Tapi kenapa dia bersedih?

Aku pasti akan datang kok. Aku suka makanan enak dan tuan itu memberiku banyak.

"Kamu terluka?" katanya sembari menyentuh kakiku. Rasa sakit yang membungkus kakiku membuatku menghindar.

Aku merintih pelan. Suaraku jadi tinggi dan bergetar.

"Siapa yang melukaimu?"

Ah, kalau itu, tadi aku menemukan sepotong ayam di lantai lalu tentu saja aku memakannya, tapi baru sebentar, ada seseorang yang memukulku dengan tongkat kayu kencang sekali dari belakang.

Katanya, makanan itu bukan untukku. Ya kalau begitu jangan menaruhnya sembarangan!

Tuan pasti tidak akan mengerti, tapi dia melihatku seakan aku bisa bicara bahasa manusia.

"Tunggu sebentar. Pupu jangan ke mana-mana."

Eh? Jarang sekali dia memanggilku dengan nama. Aku senang mendengarnya.

Lalu kulihat tuan mengambil sesuatu di sakunya, meneliti entah apa di sana, kemudian pergi menuju bangunan besar yang berisi banyak makanan di seberang.

Aku ingin mengikutinya, tapi kata tuan itu tunggu saja di sini. Lagi pula, kakiku sakit sekali. Aku jadi kesulitan berjalan.

"Sini."

Aku refleks lari menghindar begitu sapuan lembab mengusap lukaku. Tuan itu mengoles entah apa di kakiku. Tapi aku tidak suka, itu menyakitkan.

"Hei, kemari, biar kubersihkan dulu lukamu," katanya.

Tapi itu menyakitkan tuan!

Aku praktis menjilat luka di kakiku.

"Jangan dijilat," katanya kemudian menarik kakiku lagi. Aku ingin memberontak tapi genggamannya kali ini lebih kuat.

Setelah beberapa kali kabur dan beberapa kali tertangkap, tuan itu menghadiahiku makanan. Begitu makanan ada di dalam mulutku, seketika aku lupa dengan lukaku.

Ajaib.

"Seseorang memukulmu ya."

Aku tidak mengerti tuan itu. Kemarin dia terlihat begitu bahagia, seperti bukan Tuan Berwajah Kuyu yang biasanya, tapi sekarang wajahnya redup lagi.

Di bawah lampu jalan, aku bisa melihat jelas tatapan matanya yang sendu. Itu mengingatkanku ketika pertama kali aku bertemu dengannya.

Tatapannya amat sedih, sampai kupikir mungkin dia punya kehidupan yang lebih malang dariku, tapi memangnya ketidakmujuran paling parah apa yang manusia bisa alami?

Memang banyak dari mereka yang jahat padaku, tapi aku pikir hidup jadi manusia itu enak. 

"Ternyata dia sudah punya tunangan," katanya.

Dia itu ... maksudnya manusia yang diceritakan kemarin, ya?

Aku tidak mengerti apa yang tuan itu bicarakan, apa itu tunangan? Tapi instingku membawaku mendekat padanya, mengusap kakinya yang selalu dibalut warna hitam.

Tuan tidak apa-apa?

"Miaw."

Lembut kurasakan belaiannya di badanku. "Aku tidak apa-apa." [...]


Pupu dan Tuan Berwajah Kuyu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang