(iii)

20 14 0
                                    


Pupu. Pupu. Pupu. Aku punya nama! Namaku Pupu! Tolong semuanya panggil aku Pupu.

"Apa kamu punya anak?" tanya Tuan Kuyu itu sewaktu kita bertemu untuk kesekian kali. Dia terduduk di pinggir jalan, sinar lampu jalan menyirami wajahnya yang masih saja terlihat kuyu, seperti tanaman yang hampir mati.

"Kucing liar betina bukannya mudah hamil?"

Anak, ya.

Aku ingat, tidak lama dari pertemuan kami aku melahirkan empat anak dengan warna bulu yang sungguh manis. Meski aku tidak terlalu peduli dengan warna dan yang corak aku punya, aku terkejut sebab aku sempat khawatir mereka mewarisi pola-pola malang ini, tapi untungnya empat makhluk mungil itu tidak mendapatkannya. Malah, coraknya jauh lebih manis dari kucing yang dipelihara begitu baik yang sering kutemui.

Aku melahirkannya di depan sebuah toko sewaktu malam. Aku juga ingat membersihkan badan-badan kecil mereka yang lembab, tampak sehat, dan ringkih, tapi hari-hari setelahnya, banyak manusia yang menyentuh mereka tanpa malu.

Menyentuh sepertinya tidak sesuai, karena mereka memainkannya seolah itu bukan makhluk hidup.

Juga, mereka kadang melempari anak-anakku yang bahkan matanya belum bisa terbuka sempurna dengan kerikil. Aku mencoba melindunginya, membawa satu per satu ke tempat yang lebih hangat dan tertutup, tapi begitu esok hari tiba dan aku membawa makanan untuknya, anak-anakku sudah mati. Kulitnya dingin. Tidak bergerak.

Aku mengeong pelan lalu kurasakan usapan pelan di kepalaku.

Tangan tuan itu hangat. 

Aku suka.

Padahal badanku kotor dan kumal, tapi dia tidak ragu menyentuh buluku.

"Itu pertanyaan aneh ya," katanya. "Pasti kamu sudah beberapa kali melahirkan."

Aku melihat sudut bibirnya menanjak sedikit. Kendati tatapannya agak menyeramkan, ternyata tuan itu punya senyum yang manis.

Usapannya kemudian turun menuju punggungku. "Aku mau memandikanmu, tapi sepertinya tidak ada waktu."

Dia meluruskan kakinya, menengadah. "Hidupku untuk bekerja dan kalau aku membawamu ke tempatku, pasti kamu sudah tidak bisa makan enak lagi."

Apa itu maksudnya aku akan mati?

"Kesialan macam apa lagi yang kudapat,  tetanggaku semuanya benci kucing." [...]

Pupu dan Tuan Berwajah Kuyu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang