Yang Terpilih

13 9 20
                                    

Malam hari itu Gembul tidur lebih awal. Setelah sebelumnya membantu Bapaknya menyiapkan kayu untuk bakal menggantikan gagang Kudi yang ditemukan sore itu. Dia tidur sambil memikirkan dan membayangkan kisah-kisah tentang Ki Lurah Bawor yang sebelumnya diceritakan oleh Bapak yang merupakan penggemar wayang kulit.


"Heelah jian!"

Tiba-tiba Gembul mendengar suara aneh bernada berat dalam tidurnya.

"Lhae, lhae ...!"

Terdengar suara lain dengan nada lebih pelan dan halus.

Suara dua orang pria tua.

"Ngger, sopo jenengmu?" ( Siapa namamu, Nak?) tanya seseorang bernada pelan dan halus.

"Heeelah ... Jenenge kowe sapa, Den?" (Siapa namamu, Raden?) Lanjutkan suara yang bernada berat.

"Si-siapa kalian? A-aku nggak ngerti kalian ngomong apa?" respon Gembul mencoba menjawab tergagap.

"Heelah. Inyong sing arane Bawor, lan kie Ramane inyong, rama Semar Badranaya," (Saya Bawor dan itu bapak saya, Semar Badranaya,) jawab suara bernada berat memperkenalkan diri.

"Lhae-lhae. Anak jaman sekarang ternyata tidak tahu bahasa Jawa. Baiklah. Siapa namamu, Nak? Saya Semar dan dia ini Bawor, anak saya." Suara pria lembut dan pelan melanjutkan perkenalan dan ternyata adalah Kyai Semar.

"Sa-saya Gembul, Mbah," jawab Gembul sambil mata terbelalak melihat sosok dua orang berbadan gemuk itu.

"Ngeer... Kamu yang tadi siang mengambil Kudi yang di pohon tua itu kan?" tanya Semar lagi.

"I-iyaa, Mbah."

"Kelihatannya kamu adalah anak yang baik. Kamu tetap berusaha menolong teman kamu yang kesusahan walau kamu sendiri juga susah."

"I-iya, Mbah."

"Kamu rawat baik-baik Kudi itu, simpan dengan baik, ya!" perintah Semar, "Mungkin suatu saat akan berguna. Kudi itu adalah warisan Bawor yang sengaja ditancapkan di pohon itu. Untuk menunggu siapa yang layak untuk melanjutkan perjuangan masa lalu."

"I- iya, Mbah."

"Ari kaya kuwe, enyong arep tek mlebu maning bae maring njerone Kudi yah, Ramane? Enyong tek melu Den Gembul bae. Mbok menawa mbesuke bisa ngerewangi nang barang kang apik. Ya enyong tek pamit disit, Ramane. Mbesuk ari wis tekan titimangsane, enyong tek ngajek Den Gembul sowan Ramane maning. Klilan, Ramane." (Kalau begitu saya mau masuk lagi ke dalam Kudi saja. Saya mau ikut Den Gembul. Siapa tahu nantinya bisa  membantu dalam kebaikan. Saya mau pamit dulu, Pak. Nanti kalau waktunya tiba, saya mau ajak Gembul ketemu Bapak lagi. Pamit, Pak.) pamit Bawor kepada Semar untuk mengikut Gembul.

Kemudian Gembul melihat seberkas sinar terang melayang merembes ke dalam Kudi itu.

Lalu Gembul bangun di pagi hari, tapi tidak begitu ingat akan mimpinya malam tadi. Hanya sekilas ingat, bahwa dia bertemu dua sosok berbadan besar itu.

Gembul bercerita pada Bapak dan Ibunya tentang mimpinya semalam. Walau masih samar.

Sekitar jam setengah tujuh pagi, Gembul berpamitan pada orangtuanya untuk berangkat ke sekolah. Ia berjalan kaki bersama teman-temannya.

Ada Doni, Anto, Heri juga Ragil.
Mereka adalah teman sejak kecil.

Gembul bercerita pada teman-temannya tentang Kudi aneh yang tiba-tiba sampai di rumah. Teman-temannya pun merasa aneh. Tapi tidak begitu dipikirkan terlalu dalam oleh mereka. Karena bagi anak seumuran mereka, lebih penting memikirkan urusan sekolah dan bermain. Mereka sekarang masih kelas 3 SD di sekolah dasar desa mereka.

Sepulang sekolah, mereka merencanakan untuk bermain layang-layang lagi di tempat biasanya. Sesuai kesepakatan, mereka akan berangkat jam 2 siang.

"Assalamu'alaikum." Gembul mengucap salam saat sampai di rumah.

"Wa 'alaikum salam, Mbul. Kamu sudah pulang, ya? Ayo masuk itu makan siang sudah siap." jawab ibu Gembul.

Setelah makan siang Gembul, menyiapkan layangan kesayangannya. Dan saat mengambil layangan yang tergantung di dekat gantungan Kudi itu, Gembul melihat bahwa gagang kudinya sudah diperbaiki oleh bapaknya. Mau bertanya pada bapak, ternyata bapak belum pulang dari sawah. Akhirnya Gembul hanya mengambil layangannya saja.

Lalu mereka segera berangkat ke tanah lapang tempat langganan mereka bermain layangan. Mereka bermain layangan sampai sore menjelang Maghrib baru pulang tanpa kejadian seperti kemarin.

Malam harinya.

Gembul bersama orang tuanya berdiskusi tentang mimpi itu.

"Nak, sepertinya benar. Kamu yang dipilih oleh Kang Bawor," kata bapak Gembul memulai percakapan.

"Iya, Nak. Kamu jaga baik-baik Kudi itu. Siapa tahu nantinya akan lebih bermanfaat." Ibunya menambahkan.

"Iya, Bu, Pak," jawab Gembul.
"Besok Gembul mau belajar bahasa Jawa ya, Pak, Bu," lanjut Gembul, "Tolong ajari Gembul, biar Gembul bisa ngobrol sama Mbah Bawor."

Mulai saat itu, Gembul selalu belajar bahasa Jawa di rumah.

Sampai dia benar-benar bisa berbahasa Jawa, walau masih bertaraf Ngoko Ngapak Banyumasan seperti Mbah Bawor juga. Karena asal orang tuanya juga dari daerah Banyumas.

---------------$----------------

Warisan Sakti Ki Bawor Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang