"Undaaaaa." Teriakan bocah kecil yang cukup nyaring itu berhasil mengalihkan atensi Victo. Victo yang tadinya sedang memilih minuman dingin menoleh, menatap anak manusia yang tingginya hanya sebatas betisnya itu bingung.
Tidak lama seorang wanita datang dengan terpogoh-pogoh.
"Deva kenapa?" Suara lembut itu mengalun indah. Victo memperhatikan saat wanita itu mengangkat anaknya untuk di gendong. Wajahnya tidak terlihat karena tertutup helai helai rambut.
"Epa au klim, oleh?" ( Deva mau es krim, boleh?) tanya batita itu imut. Matanya mengerjap beberapa kali berharap sang Bunda memperbolehkannya membeli es krim.
Wanita itu tampak menghela nafas pelan, "boleh, tapi cuma satu. Nanti kalau Deva makan es krim banyak banyak, Deva bisa batuk, tenggorokannya sakit, Deva mau?"
Batita itu menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Deva mau es krim yang mana?" tanya wanita itu kemudian.
"Yang itu Unda, yang tokelat." (yang itu bunda, yang coklat) Tangan kecilnya menunjuk pada es krim coklat dengan korn.
"Oke, satu es krim coklat untuk Deva!" Terdengar tawa girang dari batita laki laki itu. Victo masih setia memperhatikan interaksi keduanya. Ia bahkan tanpa sadar ikut tersenyum. Bagaimana jika nanti ia memiliki anak, hatinya berdebar membayangkan sosok mungil yang akan memaminggilnya Ayah nantinya.
Terlalu larut dalam pikirannya, Victo tidak sadar bahwa dua orang yang tadi ia perhatikan sudah berlalu pergi. Victo yang merasa sudah tidak ingin membeli hal lain akhirnya berjalan menuju kasir.
Saat sampai di kasir Victo kembali bertemu dengan wanita dan anak kecil tadi. Ibu dan anak itu terlihat sedang terlibat percakapan seru. Sambil menunggu antrean, Victo ikut mendengarkan percakapan keduanya.
"Telus lobotnya telbang, fyushhh, tayak gitu," cerita batita itu antusias. Bahkan tangannya ikut bergerak di udara seolah memperagakan bagaimana robot yang di ceritakannya terbang.
"Oh ya? Terus gimana? Robotnya rusak?" Wanita yang merupakan ibu batita itu menyahut tidak kalah antusias.
"Endak! Lobotnya beldili lagi. Telus dia lawan lawan."
"Wah keren, lain kali Deva nonton sama Bunda ya?"
Batita itu mengangguk dengan senyum lebar.
Antrian semakin terkikis hingga giliran wanita itu tiba.
"Ada tambahan, mbak?"
"Enggak itu aja."
"Mau pulsanya sekalian?"
"Nggak, makasih."
"Yang di depan sini lagi diskon kak, beli dua gratis satu."
"Eggak, saya beli itu aja."
"Baik. Totalnya sembilan puluh tujuh ribu tujuh ratus."
Wanita tersebut terlihat mengeluarkan beberapa lembar uang. "Berapa tadi mbak?"
"Sembilan puluh tujuh ribu tujuh ratus."
"Loh, perasaan tadi ada uang lima ribu. Mana ya?" Victo mendengar wanita itu bergumam kecil. Ia melirik meja kasir. Terdapat uang RP 92.000 di sana.
"Uangnya kurang, mbak?" Victo memberanikan diri untuk bertanya.
Wanita itu tampak kaget lalu menoleh.
'Juni?' dalam hati Victo menyebut nama itu. Tidak salah lagi, wanita di depannya ini adalah Juni, Mahasiswi Papanya yang beberapa hari lalu bimbingan di rumah. 'Beneran janda ternyata.' dalam hati Victo kembali berkata. Ia kira Abdi berbohong, nyatanya Juni memang janda anak satu.
"Eh, iya, Mas," jawab Juni kikuk.
"Kurang berapa?" tanya Victo basa basi padahal ia sudah tahu jawabannya.
"Lima ribu tujuh ratus."
"Ini pake uang saya aja." Victo mengeluarkan uang kertas lima ribu dan uang koin senilai seribu rupiah dari saku celananya.
"Nggak usah, Mas!" tolak Juni, "mbak saya nggak jadi beli ini ya," kata Juni pada kasir sambil mengambil es krim.
"Udah, pake uang saya aja, nggak pa-pa."
"Nggak usah, Mas." Juni masih menolak.
"Unda?" Deva tiba tiba bersuara, batita itu menatap Bundanya juga Victo bergantian.
"Iya sayang, kenapa?"
"Ndak jadi beyi ya?" tanya nya polos.
"Jadi kok sayang, tapi nanti ya? Kita pulang dulu habis itu balik lagi buat beli es krimnya Deva, ya?"
"Kamu ini, kenapa ribet sekali? Udah pakai uang saya aja. Kasian anak kamu." Tanpa menghiraukan Juni, Victo menaruh uang 6.000 di atas meja kasir.
Juni menghela nafas pelan, "makasih, mas. Nanti uangnya saya ganti."
"Nggak usah, cuma enam ribu," sahut Victo cuek. Tepatnya sok cuek sih. Nyatanya saat ini jantung Victo berdetak cepat. Grogi karena sedang berinteraksi dengan mbak crush.
"Deva, bilang makasih ke Om nya," titah Juni pada sang anak.
"Maacih, Om," kata Deva manis.
Victo tersenyum. Tangannya terulur mengusap surai Deva. "Sama sama."
TO BE COUNTINUTED
Jangan lupa tekan tombol bintang yaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Janda Muda
ChickLitVicto, laki-laki berusia 30 tahun yang tak juga kunjung menikah. Selama ini hidupnya hanya dipenuhi dengan kerja, kerja, kerja, dan kerja. Sampai suatu hari ia bertemu dengan Juni, gadis berusia 23 tahun yang merupakan Mahasiswi Ayahnya. Dalam waktu...