delapan puluh lima

6 0 0
                                    

Kalau ada mesin waktu, aku pengen balik ke tahun 2015.
Di sana, aku bakal ngehindari kamu. Chatmu gak bakal kubalas.
Jadinya nanti kita gak jadian, dan aku gak terpedaya sama kata-kata, "Kamu gak cinta aku, ya?" —sampai akhirnya aku bisa sehancur ini.
Seenggak percaya ini sama yang namanya cinta.
Seinsecure ini sama diri sendiri dengan prinsip yang udah tertanam di otak, "Gak bakal ada yang suka sama aku. Gak ada."

Mungkin, kalo dulu aku gak gubris kamu, aku sekarang bisa kayak teman-temanku, ya? Ngerasain jatuh cinta lalu diputusin nangis-nangis. Dan berulang begitu sampai bosan, tapi seru karena bervariasi.

Aku setia, tentu. Gak pernah ada niatan buat cari selingkuhan (seperti yang kanu tuduhkan berkali-kali tanpa alasan) kayak gitu. Wong, ngurusin kamu satu aja udah bikin aku mau mati.

Sampai akhirnya sekarang aku sadari satu hal.

Hubungan enam tahun tanpa orang ketiga dari pihakku padahal kita gak pernah ketemu, itu bukan karena aku cinta kamu. Tapi karena aku yang tertekan sama tingkahmu. Aku takut sama semua ancamanmu.

Bicara jujur gak dipercaya.
Lebih percaya omongan orang lain dan asumsi sendiri, ujungnya tanpa sadar sakiti aku. Sakit banget, loh. Sampai-sampai buat ngalihin rasa sakitnya aku harus cari pelampiasan dengan bikin barcode di tubuhku sendiri.

Enam tahun, dicurigai, dituduh tanpa alasan, dikekang, diancam, dan diteror tiap malam, aku gila. Sampai takut tiap liat nomor kamu masuk. Gemetaran, dada sesak mau muntah aja rasanya karena perut kayak diobok-obok acak.

Yang bikin aku tambah gila apa? Kamu setiap habis nyakitin, datang gitu aja tanpa rasa bersalah. Bersikap seolah-olah semuanya normal. Aku, yang nangis sesenggukan, cuma dianggap bercanda dan berlebihan semata.

Sial.

kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang