05 : tentang fajar

30 2 0
                                    

Fajar Alfian Wijayakusuma. Laki-laki usia 22 tahun itu harusnya bisa wisuda bulan lalu bersama dengan teman-temannya. Tapi entah ada satu dan lain hal yang membuat dirinya tak kunjung memberi kabar bahagia ke Bapak dan Ibu. Dan sepertinya hanya Gendhis dan Rian yang tahu alasan dia 'mandeg' skripsian.

Dini hari kala itu, sambil menyantap mi rebus dengan telur dan potongan sosis buatan Fajar, mereka bercengkerama. Ngomong ngalor-ngidul hingga akhirnya sampai di topik tersebut.

Kala itu, Fajar akhirnya berani untuk bercerita.

"Aku mandeg skripsian, dek," ucap Fajar lalu menyeruput kuah mi nya. Bisa dilihat ekspresinya yang susah ditebak oleh Gendhis. Entah sedih atau malah biasa saja. Terkadang Fajar itu terlalu rumit.

Gendhis mendongakkan kepala lantas menjawab, "lho kenapa? Susah ya mas? Pembimbingmu galak ya?" Matanya terbuka lebar.

Laki-laki di hadapannya malah nyengir.

"Kok malah nyengir kayak kudaaa??" Gendhis cemberut. Matanya menatap aneh ke arah Fajar. Beruntung ruangan tersebut cahayanya remang-remang, hanya ada lampu dari dapur jadi Gendhis tidak dijitak Fajar karena kalimatnya.

Fajar masih terdiam. Belum berniat menjawab... atau mungkin hendak menghabiskan mi nya terlebih dahulu?

"Aahhh seger..." Yang terdengar malah ungkapan itu.

"Masssss.. belom dijawab pertanyaanku tadi..."

"Mosok Gendhis terus yang cerita? Tapi mas enggak pernah? Curang kui jenenge :("

"Eh tapi kalau belum siap cerita yo rak popo kok mas. Gendhis enggak maksa." Tone suara gadis Semarang itu melemah.

"Iihhh kamu kok gemesin banget to!" ujar Fajar sambil mencubit pipi Gendhis.

"Aduduuuuhhhh sakit to mas!"

•••

"Skripsiku mandeg, dek."

"Ken-"

"Ojo dipotong ndisik!"

Gendhis mengangguk patuh.

"Bukan karena pembimbingku yang killer. Tapi tiba-tiba semangatku turun. Kayak takut habis skripsian selesai terus wisuda... habis itu aku mau ngapaiiinn?"

"Takut berakhir enggak berguna, Ndhis. Mas Fajar takut habis wisuda enggak dapet kerja malah jadi beban orangtua terus."

Si gadis beringsut menarik kursinya di sebelah Fajar. Matanya melembut sedangkan tangannya menepuk-nepuk pelan punggungnya. Punggung anak pertama yang membawa beban ekspektasi seluruh anggota keluarga. Punggung anak pertama yang dipaksa untuk jadi lebih kokoh dari adik-adiknya.

Suasana di meja makan yang tadinya sendu, tak lama menjadi kembali cerah dengan kalimat Fajar, "terus tiba-tiba punya ide buat bikin kedai kopi!"

Mata 'sang mentari' nampak berbinar-binar. Indah sekali.

"Terus sekarang lagi persiapan grand opening. Udah dapet menu, tempatnya juga strategis, cara pemasarannya juga udah clear, tapi belum dapet gambaran buat ngedesain kedainya."

"Jadi sekarang Mas Fajar mau fokus ke bisnis?" tanya Gendhis.

Fajar mengangguk bersemangat, "coba-coba dulu sih. Kecil-kecilan."

Gendhis menggeleng-gelengkan kepala. "Mas kalau Bapak tau.. dia bakal bilang apa? Bisa remuk kamu!" bisiknya agak mengancam.

"Aku tau, Ndhis. Tapi gimana lagi? Udah kepalang tanggung. Jangan khawatir, skripsiku masih jalan kok. Malah minggu depan mau konsul."

"Dih pamer?"

Tangan Fajar melayang untuk mencubit bibir Gendhis yang suka mencicit seperti burung itu.

"Yowis mas, sing penting skripsimu ojo mbok lalekno! Aku tuh kasian sama kamu ditanyain Bapak terus. Udah pernah bilang ke Bapak buat jangan nyusu-nyusu kamu, tapi tau sendiri kan Bapak tuh keras kepala. Enggak mau denger kata anaknya."

Fajar berasa dimarahi hingga tanpa disadari kepalanya menunduk.

"Persis kamu, Mas Jar. Keras kepala."

•••

"Mas Fajar tuh aslinya jenuh kan?" Gendhis menduga-duga penuh selidik. Tidak ada jawaban dari masnya itu.

Gendhis mengulangi ucapannya lagi, "kalo jenuh tuh cerita mas. Seenggaknya ke Gendhis atau Mas Yan ya. Jangan dipendem sendirian :("

Fajar mengangguk patuh. Senyumnya mengembang manis, "iya iyaaa Gendhisnya Mas yang pualiiing cantiiikk."

"Isshh! Lagian gendeng kamu mas! Kok bisa-bisanya kepikiran bikin kedai kopi."

"Kalo enggak gendeng, enggak masmu namanya," jawab Fajar lalu melet.

Lengannya segera dicubit Gendhis.

"Aku sumpahin kedai kopimu laris manis!"

"AMIIINNNN!!"

Sekarang sudah cukup jelas bagi Gendhis alasan mas sulungnya sering mengurung diri di kamar akhir-akhir ini atau selalu menghindar saat ditanyai Bapak perihal skripsi. Otak cemerlangnya itu ternyata sedang merencanakan hal lain dan Gendhis sepenuhnya mendukung apapun keputusan Fajar. Karena hidup Fajar adalah milik Fajar. Bukan milik Bapak atau Ibu, apalagi kamu yang sedang membaca ini hahahah.


Tapi sebentar deh, kayaknya ada satu orang yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka...

Percakapan Meja MakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang