01 : sop daging

69 8 2
                                    

Sore hari di Semarang, langit sudah melukiskan garis-garis jingganya dengan awan putih sebagai pelengkap. Rumah keluarga Wijayakusuma sudah disibukkan dengan rutinitas sore hari: Ibu menyiapkan makan malam dengan dibantu Gendhis, Bapak mengelap mobilnya di garasi, sedangkan Fajar dan Rian masih asik berdiskusi tentang permainan ganda campuran Indonesia di ajang kejuaraan bulutangkis dua hari lalu. Rumah mereka terlihat 'hidup'.

Jam tujuh malam akhirnya datang. Fajar dan Rian otomatis menuju ke dapur untuk membantu menata meja makan. Ayah sudah masuk rumah, wajahnya tampak segar sehabis mandi.

"Mas, tolong ambilin mangkok besar di lemari atas dong," ucap Gendhis tanpa menoleh. Atensinya masih berada di wajan panas yang menggoreng kerupuk bawang.

"MAS YANG MANA?" kata Fajar dan Rian berbarengan.

Gendhis menepuk jidatnya. Lupa bahwa dia punya dua mas yang guantenge pol.

"Yang mana aja lah terserah," jawabnya sambil terkekeh.

"Yaudah kamu aja, Yan." Itu suara Fajar.

"Ye dasar wedhuuuss, nyuruh-nyuruh." Meski protes, Rian tetap menjalankan perintah Fajar, eh.. Gendhis maksudnya.

Jangan heran ya kalau melihat Fajar dan Rian pakai aku-kamu walaupun mereka berdua cowok, karena ya memang disini begitu. Kadang kalau lagi keluar sok "jakarta" nya juga pakai gue-lo.

"Bapak bantu apa?" tanya beliau sambil menjejeri anak gadisnya itu. Tanpa disadari Gendhis, tangan beliau sudah siap membawa toples kerupuk.

"Ya ampun peka banget bapakku yang satu ini. Gak kayak anak lanangnya." Gendhis setengah menyindir setengah guyon. Rian otomatis bangkit dari duduknya dan segera menghampiri adik bungsunya itu. Sedangkan Fajar-

"Buuu, Gendhis bawel buuuu."

-yang segera dicubit pinggangnya. Tapi dirinya tetap membantu kok. Nyatanya meja makan sudah rapi terlapisi kain taplak, juga piring dan sendok sudah ditempatnya masing-masing.

"Mas Rian, tolong bawa tempe dan tahu gorengnya yo. Mas Fajar! Ayo kamu itu lho, bantu Ibu bawain mangkok sopnya sana!"

"Iiihh marah-marah mulu."


Makan malam sudah tertata rapi. Menunya ada sop daging, tempe dan tahu goreng, sambal, tak lupa kerupuk kesukaan si Bapak. Semuanya ala chef Merianita Rahayu aka Ibu Negara tercinta.

"Hmmm baunya wangi pisan," kata Fajar. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang disambut dengan senyum lebar Ibu. Beliau pasti senang sekali mendengar pujian anaknya.

Dan makan malam mereka pun dimulai.

Denting sendok beradu dengan piring kaca berirama seiring dengan mereka yang bertukar kata. Sesekali terdengar suara seruputan dari mulut Rian dan suara "aaahh" -nya itu.

"Tambah nasi, mas Yan?" tanya Ibu. Senyumnya masih terpatri di wajah melihat anak lanangnya yang nomer dua makan lahap sekali. Jarang-jarang lho. Memang sih makan seorang Rian Ardianto Wijayakusuma banyak, tapi untuk melihat dirinya 'semangat' saat makan itu merupakan hal yang jarang.

"Sopnya aja, bu."

Ibu mengangguk dan menjulurkan tangannya meminta piring Rian.

"Mas Fajar mau juga dong, bu," kata si sulung, piringnya sudah dijulurkan ke arah Ibunya.

"Ambil sendiri lah," sahut Gendhis. Lengan gembilnya segera dicubit pelan oleh Fajar.

"Ikut-ikut aja sih kamu bocil."

"Bocil gini bisa nendang kamu lho, mas."

Bapak hanya tertawa mendengar anak-anaknya yang suka tiki-taka itu. Tidak pernah berubah sejak dulu dan ia berharap agar tidak akan berubah.

Makan malam kali itu bisa menyenangkan karena pertengkaran kecil dari si sulung dan si bungsu. Sementara Rian -si anak tengah- hanya bisa menyaksikan kehebohan mereka sambil tertawa manis. Dia merasa sudah cukup dengan menikmati sop daging Ibunya, jadi malas mau ikut-ikutan heboh.



•••


"Jadi Fajar... kapan kamu wisuda?"

Pertanyaan menohok dari Bapak malam itu menjadi penutup makan malam mereka. Fajar membisu tak dapat menjawab membuat atmosfir meja makan berubah menjadi dingin.

Percakapan Meja MakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang