Dua

3 3 6
                                    

"Nalen Vlorenzy Azzahra," seorang guru fisika menyebutkan nama Nalen guna memberikan kertas hasil ulangan minggu lalu yang ia adakan.

Nalen maju kedepan dan menerima itu dengan senyuman manisnya.

"Seperti biasa Nalen, di kelas ini yang selalu mendapatkan nilai sempurna. Ibu bangga sama kamu, terus pertahankan prestasimu," ucap guru tersebut sambil menepuk pelan pundak Nalen dan tersenyum.

"Baik bu terimakasih," ucap Nalen tersenyum dan langsung kembali ke tempat duduknya.

"Temen gue emang thebest," ucap gadis yang duduk sebangku dengan Nalen.

Meylani Cisakara namanya. Gadis yang sering di panggil Mey itu adalah teman dekat Nalen, mereka sudah berteman sejak pertama kali masuk ke sekolah ini.

Nalen hanya tersenyum sambil mengacak rambut temanya ini.

"Lo kayak cowok deh, suka banget ngacak rambut gue," ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya dan membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Abisnya lo gemesin," Mey memang sangat menggemaskan di mata Nalen.

"Makasih cantik makasih," ucap Mey dengan senyum terpaksanya.

"Istirahat kantin gak?" tanya Mey.

"Gak dulu," ucap Nalen tanpa mengalihkan pandanganya dari buku yang sedang ia pelajari.

"Terus kemana?"

"Kemana pun yang gue mau," jawab Nalen tersenyum menatap Mey, setelah itu ia fokus kepada kegiatanya kembali.

"Lo keseringan belajar tau gak. Apa lo gak bosen Len?" tanya Mey menatap Nalen yang sendari tadi sibuk belajar.

"Gue gak akan pernah bosen ngejar impian gue," jawab Nalen.

"Impian? Lo itu udah pinter. Nilai lo selalu jadi yang terbaik dikelas ini, gak belajar sehari itu gak akan buat lo bodoh Nalen," Mey memang sangatlah sering melihat kebiasaan Nalen, yaitu selalu fokus untuk belajar.

"Lo gak tau Mey. Impian gue bukan cuma mau jadi orang pinter," ucap Nalen.

"Lo tau kan gue mau kuliah? Dan gak mungkin banget gue minta biaya kuliah sama Ayah. Maka dari itu gue harus lebih giat belajar lagi supaya gue bisa dapet beasiswa, dan salah satu impian gue agar bisa kuliah, terwujudkan."

Nalen sudah biasa berusaha seperti ini dan tak terlalu bergantung kepada Ayahnya, karena percuma saja Ayahnya itu tidak terlalu perduli dengan apa keinginan Nalen. Jangankan mewujudkan keinginannya menanyakan keinginannya apa saja Ayahnya tidak pernah.
.
.
.
.
.
.
.

Nalen duduk termenung di dalam lapangan basket yang sepi. Ia menatap lurus kedepan.

"Bunda dulu Nalen pernah janji sama Bunda, Nalen bakal jadi peri buat ngabulin semua permintaan Bunda," mata Nalen mulai memanas.

"T-tapi sekarang Bunda udah gak ada. Apa Nalen masih bisa jadi peri buat Bunda?" lanjutnya sambil menghapus air mata yang perlahan membasahi pipinya.

Gadis cantik itu kini menundukan wajahnya hingga rambutnya yang tergerai itu mampu menutupi sebagian wajahnya. Kali ini Nalen tak menangis ia hanya diam menikmati kesunyian yang menyelimutinya.

Seorang lelaki menatap gadis yang tengah mendunduk itu dengan senyum yang terukir di wajah tampannya. Ia melangkahkan kakinya bukan untuk menghampiri gadis itu, melainkan pergi dari tempat ini.

Nalen merasakan ada seseorang yang berdiri tepat di hadapannya. lantas ia mendongakan wajahnya sambil menyingkirkan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya, ia mentap bingung lelaki yang berdiri di hadapannya itu. Lalu pandangan Nalen teralihkan oleh sepasang raket yang di bawa lelaki itu.

Grow UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang