• Chapter two

1.5K 241 105
                                    

Saddam kalah, anak sematawayangnya begitu kerasa kepala dan tetap ingin kembali ke Indonesia. Sampai-sampai anak tampannya itu mengancam akan mogok makan selama 1 minggu penuh dan kabur dari mansion jika Saddam tak menuruti keinginannya untuk kembali ke Indonesia. Meski sudah di bujuk oleh Tn dan Ny Adelard serta ayah Damian beserta Harsha dan Shuan pun tetap tak mempan, Shannon Argani Adelard tetap ingin kembali ke Indonesia, bahkan di saat hasil test pemeriksaan kesehatannya belum keluar.

Dan pada akhirnya Saddam mengalah, karena ia tau sang anak akan melakukan apapun, ia tau jika Shannon memang anak yang nekat. Terhitung hari ini sudah menginjak hari ke-3 Saddam dengan anak sematawayang nya pindah ke Indonesia. Mereka menempati rumah mewah yang selama 13 tahun terakhir sudah di tinggalkan, namun masih bagus dan layak huni, sangat sangat layak lantaran ada beberapa maid yang selalu membersihkan rumah itu serta beberapa bodyguard yang menjaga rumah mewah milik Saddam tersebut.

Terlihat saat ini Saddam tengah melangkahkan tungkainya menuju lantai 2, tempat dimana kamar sang anak berada. Tak lupa beberapa maid yang berpapasan dengannya pun menyapa sang tuan besar dengan ramah yang hanya diangguki saja oleh Saddam.

Tidak usah capek-capek menaiki tangga karena di rumah mewah ini sudah di lengkapi dengan fasilitas lift sama seperti mansion yang ada di Newyork, Amerika sana.

Cklek! Sesampainya di kamar sang anak, tak perlu mengetuk pintu, Saddam langsung saja membuka pintu kamar sang anak, lalu melangkahkan tungkainya memasuki kamar tersebut. Terlihat di atas ranjang king size sana, anak sematawayangnya masih tidur meringkuk seperti bayi besar dengan tubuhnya yang di balut oleh selimut, membuat Saddam menjadi gemas sendiri melihatnya.

"Bro c'mon, wake up.." panggilnya saat sudah mendudukan tubuhnya di samping ranjang. Tak lupa tangan Saddam terangkat untuk mengusap surai sang anak.

"Eungh.." lenguh Shannon pelan yang merasa terusik dengan usapan sang ayah di kepalanya.

"Wake up boy, ini udah pagi."

Saddam meraih remot kecil yang ada di atas nakas, lalu menekan tombol Open yang ada disana, dan tak lama gorden kamar pun terbuka otomatis dengan perlahan, membuat cahaya matahari masuk melalui kaca jendela yang besar.

"Ih silau dude," lenguh Shannon pelan.

"Makanya bangun cil, ini udah pagi, nanti kamu terlambat lho dek," ucap Saddam.

"Emangnya kita mau kemana sih, pak Saddam? Aku masih ngantuk banget lho ini," tanya Shannon masih dengan kedua matanya yang terpejam.

"Eh? Kamu lupa, dek? Katanya mau sekolah, tapi kalau masih tidur begini mending–" ucapan Saddam terhenti saat sang anak langsung terbangun dari tidurnya, merubah posisi tidurnya menjadi duduk seketika.

"Aduh duh bentar pusing, kepala aku muter-muter yah," lirih Shannon karena bangun secara tiba-tiba, padahal nyawa yang terkumpul masih setengah ah lebih tepatnya masih seperempat.

"Ck, makanya bangun pelan-pelan cil, jadi pusing kan. Udah lah kamu mending tidur lagi, sekolahnya besok–"

"Dih nggak mau! Aku mau sekolah hari ini, yah!" sela Shannon cepat membuat sang ayah terkekeh pelan.

"Iya makanya mandi dulu, tadi mbak udah siapin air hangat buat kamu mandi," ucap Saddam seraya mengusap lembut kepala sang anak yang mengangguk-ngangguk.

"Yaudah sana gih mandi dulu, ayah tunggu di ruang makan ya, ayah mau buat sarapan dulu di bantu sama koki," lanjutnya.

"Okaaay yah! Masak yang enak, kalau ga enak ga akan aku makan nanti," sahut Shannon.

EccedentesiastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang