34

3.9K 447 57
                                    

Ketukan di pintu kamarnya sama sekali tak terdengar di telinga Gulf, setidaknya sampai pintu itu terbuka perlahan dan memunculkan wajah orang tuanya.

Sang ibu lebih dulu melangkah dan memeluk tubuh putranya yg masih terbaring.

"Belum berhasil ya?"
Gulf mengangguk. Air matanya yg tadinya kering mulai jatuh lagi. Kembali membasahi kedua pipi lembut itu.

"Aku takut mæ. Aku takut kami berpisah karena ini."
Setelah mengatakan itu Gulf duduk dan kembali dipeluk erat oleh ibunya. Sang ayah juga sudah duduk disamping tempat tidurnya.

"Aku minta maaf, pho. Membiarkan diriku ditandai orang lain, yg bahkan sudah bersuami. Aku membuat kalian malu. Aku melempar kotoran pada wajah kalian. Maaf, ma-hikk-af."

"Benar itu yg membuatmu menangis?" Suara lembut ayahnya menyapa telinga Gulf. Belum lagi kalimat sambung dari ibunya. "Mengapa sudah takut akan berpisah? Memangnya kau ingin berpisah? Sudah mengambil keputusan?"

Gulf lalu melepas pelukan, kaget dengan pertanyaan bertubi ibunya. Ia lalu menatap mata ledua orang tuanya bergantian.
"Aku mulai merasakannya, pho, mæ. Aku mulai tenang saat phi Mew pergi, dan aku selalu mengingat Bright saat aku bersamanya. Bersamanya tak lagi senyaman dulu. Aku harus selalu berusaha menekan Bright dan segala bayang tentangnya saat aku bersama suamiku. Aku seperti tergila-gila pada Bright. Aku seperti makin melupakan phi Mew. Makin kuat aku mencoba mengingat suamiku dan menyingkirkan Bright, makin aku tersesat dan merasa sesak."
Ceritanya dalam sekali tarikan napas. Seperti sedang menumpahkan segalanya yg ia rasa saat bersama Mew setelah ia ditandai.

"Mæ mengerti perasaanmu, nak."

"Mæ, kau tak mungkin mengerti rasanya. Kau tak tau rasanya seperti terikat dengan orang yg tak kau cinta. Kau tak mengerti rasanya menginginkan sentuhan dari orang yg bukan pemilik hatimu. Kau tak tau rasanya menjadi seperti jalang murahan yg seluruh tubuhnya merasa sensasi gatal karena mencium pheromon yg bahkan tak membuatmu merasa aman. Kau tak tau rasanya, Mæ!!"
Suara Gulf sedikit meninggi di akhir, ia frustasi. Kalimat mengerti ibunya serasa kosong pada telinga Gulf. Hatinya sedang bimbang sekarang.
Ia merasa rendah. Menggeliat bernafsu karena suami orang. Rendahan sekali.

"Ibu mengerti, Kana. Ibu mengerti."

Dan saat mulut Gulf kembali ingin menyemprotkan protes akan kata mengerti ibunya, mata itu terlebih dahulu disuguhkan pemandangan yg lebih menyiksa hatinya. Ingin sekali ia memotong lidahnya, atau jika perlu umurnya.
Karena saat ini, ibunya sedang menunjukan perpotongan lehernya. Dimana pada kulit yg mulai terlihat menua dan keriput itu terlihat jelas bekas gigitan setelah ditandai.

Gulf membulatkan matanya, ia lalu melihat ke arah mata ibunya. Berharap tafsirannya keliru.

"Kau benar, Kana. Dan ibu bahkan tak tau siapa orangnya." Ibunya menjawab masih dengan wajah serius.

"Kau pernah ditandai?" Tenggorokan Gulf tercekat bahkan saat berusaha bersuara. Ingin sekali ia menggorok lehernya sendiri. Beraninya tadi ia mengasari ibunya.

Dan sang ibu, tentu bisa mengerti isi kepala anak satu-satunya itu.

"Ya, mæ pernah ditandai. Bahkan saat usiaku muda sekali. Delapan belas tahun. Saat itu Mae sedang bekerja paruh waktu, pulang larut malam dan yahh, entah siapapun dia, ia menandaiku dengan sengaja. Bahkan membuahkan hasil.

Jangan tanya kenapa Mæ tak mengadu, kami orang miskin, Kana. Tak akan sanggup menahan malu dan lapar sekaligus. Dan penandaan itu menghasilkan sesuatu, nak. Mæ hamil, tapi ia pergi karena tubuh Mæ saat itu tak mampu menjaganya." Tak ada tatapan sedih dan segala negatif lainnya. Hanya ada tatapan tulus seorang ibu yg tengah membagi cerita.

USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang