In everything that exists in this universe, we can actually see many miracles.
—AristotelesHanya air. Air lagi. Lagi. Lagi. Seluruhnya air! Kami terjebak di sini! Tolong! Tolong!
Inginku bilang begitu seraya berteriak, tapi yang terjadi justru aku takjub dengan apa yang sekarang kualami—terjebak di atas air yang dikelilingi oleh air—pohon-pohon yang menjulang serta air laut yang biru jernih seperti kristal dari buku gambar anak. Mau aku atau Yama, kami berdua sama-sama tidak dapat menemukan orang lain di sini selain hanya kami. Entah ke mana orang-orang atau sekiranya jasad korban dari tragedi mengerikan yang baru saja kejadian—atau juga, setidaknya satu orang yang ditemui sedang bertahan di dahan pohon seraya berenang. Jadi, tidak mungkin kami dapat ditemukan atau menemukan dengan mudah. Sejak tadi, aku sama sekali tidak mendengar suara mesin perahu atau suara tegas para polisi yang mencari korban selamat.
Meski ini menyenangkan, aku tetap takut dan berusaha untuk tenang. Yama memang membantuku untuk dapat berenang dan mengayunkan kaki lebih cepat agar kami bisa sampai di titik terang—setidaknya agar kami bisa keluar dari hutan. Tujuan yang pertama adalah, mencari pertolongan. Jujur, deh, ya, Yama sama sekali tidak terlihat panik atau takut akan mati kedinginan dan tenggelam. Dia malah asik bermain-main dengan air, mencelupkan diri ke dalam air sesekali seraya menarik tanganku hingga aku ikut masuk bersamanya, kemudian tertawa keras. Dia benar-benar tidak memikirkan aku yang payah dalam hal berenang ini!
Tapi karena wajah Yama yang tertawa cukup konyol itu, aku jadi ikut tertawa. Juga, caranya tertawa mengingatkanku pada Ayah.
Aku melirik ke arahnya. "Yama," panggilku dengan sedikit serak. Ketahuilah, aku gemetar hebat karena dingin. Sudah dipastikan, antara nanti sore atau malam, aku akan jatuh sakit. Tapi, aku harap itu tidak terjadi.
"Ya, Yela? Apa kamu mau menyelam lagi bersamaku?" tanyanya dengan wajah konyol itu yang membuatku mendelik sinis. Sifat tidak pekanya sangat mirip dengan Kakak, itu membuatku ingin memukulnya.
"Apa masih lama?" Aku menghela napas sumbang. "Aku takut sakit, ini dingin banget. Aku enggak boleh lama-lama di dalam air."
Yama berpikir sejenak, sebelum kemudian kembali tersenyum dan bilang, "Kamu naik dahan ini, terus aku dorong." Dia menarik dahan yang cukup besar, menepuknya dua kali.
"Kalau jatuh, gimana?"
"Kan ada aku, Yela. Percaya, semuanya bakal baik-baik aja."
Dilihat dari senyumnya Yama, itu sangat meyakinkan. Walau semuanya bakal baik-baik saja, menurutku tidak akan begitu jadinya. Bajuku sudah terlanjur basah kuyup, ditambah lagi ini masih di dalam hutan. Aku tidak melihat titik paling terang dari ujung depan, arah kanan atau kiri, atau bahkan belakang. Aku rasa, kami masih berada di dalam hutan—masih sangat jauh untuk sampai keluar. Namun, bukan berarti aku akan menolak. Tentu saja aku menerimanya, setidaknya tidak akan terlalu dingin dan merasa geli. Karena kakiku seringkali digerumuti ikan-ikan kecil! Bahkan sesekali ikan besar seperti pari atau paus beluga menggesekkan badannya di pahaku.
Aku perlahan naik, tapi terjungkal karena terlalu lemas untuk menjaga keseimbangan. Untungnya Yama membantuku, dan aku berhasil menjaga keseimbangan.
Kami kemudian maju. Yama bilang, paus memberi tahu untuk kami terus berjalan ke lurus ke depan, karena dengan begitu kami akan sampai di luar hutan. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku tanyakan—tentang paus-paus itu yang katanya memberitahuku, tapi tentang apa? Juga atas tragedi ini. Tsunami terbesar yang pastinya menenggelamkan banyak benua karena tingginya air yang tidak wajar—sangat mengerikan. Namun, seharusnya airnya akan menjadi kotor atau setidaknya keruh, bukan? Dalam bayanganku, air bah pastinya begitu mengerikan dan gelap. Akan ada banyak ikan-ikan buas yang dapat melahap banyak manusia dan mayat-mayat yang ikut dilahap oleh air. Bahkan, karena tsunami ini seharusnya airnya akan bau anyir dan penuh bercak merah, kan? Tidak mungkin tidak ada korban jiwa. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Air lautnya sangat jernih seperti kristal, birunya seperti biru langit di siang hari tanpa awan. Ikan-ikan besar tak ada yang terlihat mengancam sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sonitum Maris
FantasíaAku tidak bilang bahwa aku membenci laut. Aku hanya tak pernah suka berurusan dengannya. Namun, bencana tsunami hari itu membuatku harus berurusan dengan laut, sebab, gumpalan air itu mengubah hidupku. *** [ Hanya di-publish di Wattpad pada akun...