[📜]
Tirta Jagad Jamanika - 1998
"Kalau hujan nggak ngerebut kamu dari aku, aku nggak bakal benci hujan."
_________________________Nirmala Oriana - 2000
"Aku suka hujan. Tapi lebih dari itu, aku menyukai kamu."
_________________________
[ Nirmala, Hujan dan Desember ]
Gugusan candra pula kirana tak nampak berpendar-pendar pada swastamita yang abu. Kesiur anila teramat ribut menimbul hawa yang begitu dingin, menusuk-nusuk kulit jua mencipta dersik dedaunan yang berisik. Nyanyian jangkrik kerap memasuki rungu sang tuan dengan netranya yang syahdu.
Bersama atma yang terjebak pada akara, Tirta menyandarkan kedua hasta pada penyekat balkon. Jemalanya diributkan dengan akara sang puan yang hirap bersama tangis nabastala tahun lalu. Sunyi kian adikara pada malam yang semakin larut. Namun sang pemilik kurva sempurna tak kunjung rebah memejamkan mata. Sebab akara si puan terus berpendar-pendar kala kedua netranya mengatup.
"Kamu tahu? Hujan itu malang." Ucap puan kirana. Sementara, Tirta sibuk mempelajari binar netra kekasihnya. Hingga panggilan puan berasma Nirmala membuatnya tersentak.
"Kenapa sih, aku cantik ya?" Nirmala melontar tanya, sang tuan memberi kekeh jua anggukan sebagai jawaban.
"Kenapa?" Tanya Tirta.
"Apanya?"
"Kenapa hujan itu malang?"
Puan dengan surai legam bergelombangnya menatap rintik tangis nabastala malam itu. "Sebab kehadirannya selalu disalahkan. Padahal niatnya baik. Kalau nggak ada hujan, gimana manusia bisa hidup? Tanpa hujan, daun-daun mati, air bersih nggak ada, bumi jadi gersang. Tapi manusia malah mencari-cari letak kesalahan hujan. Lalu menyumpah-serapahi hujan." Sekali lagi, Tirta menghafalkan lekuk kurva si puan. "Kamu jangan benci hujan, ya?" Lanjut nirmala.Kala itu, Tirta hanya mengiyakan. Sebab ia belum tahu, bahwasannya kelak hujanlah hal yang paling ia benci.
"Aku suka hujan." Ucap Nirmala yang menatap selaksa tetes nabastala dengan manik berpendar-pendar. "Kamu tahu? Hujan itu pembawa tenang. Walaupun sewaktu-waktu dia ribut." Ujar Nirmala. Kala itu, mereka berteduh pada teras kios yang tak sedang beroperasi. Kala itu Tirta memahami bahwa sang puan mengagumi hujan sebanyak tetes nabastala yang menghujam bentala.
Satu hari di taman kota, Tirta pernah sembarang melontar tanya. "Kamu lebih suka aku apa hujan?"
Nirmala terkekeh, hingga sang tuan mengira pendar arunika merubah ekstensinya pada puan kirana. "Kalau aku bilang lebih suka hujan, kamu marah?" Si nona kembali melempar tanya.
"Jadi, kamu lebih suka hujan dong?" Pun dengan Tirta yang kembali melempar tanya dan berlagak mutung, hingga puan warsa dua ribu itu merasa gemas.
"Bagiku, hujan itu tempat menenangkan diri yang bisu. Hujan menjadi teman ketika aku sendu. Sedangkan kamu," atensi Nirmala yang semula menatap danau yang terhujam rintik nabastala, kini beralih pada tuan yang menjelma kekasihnya. "kamu tempat aku menumpahkan segalanya, tempat ternyamanku untuk bersandar ketika aku lelah, kamu bisa menjadi teman yang memberi senang juga tenang. Dibandingkan hujan, kamu lebih dari itu. Kalau aku boleh bilang kamu semesta, aku bakal mengakui kamu adalah semesta terbaik yang pernah aku temui." Jawaban Nirmala berakhir bersama kedatangan bianglala pada sambekala.Karena Nirmala, Tirta menyukai hujan. Namun karena Nirmala pula, ia begitu membenci hujan dan Desember yang abu.
Dina ke empat candra dua belas warsa dua ribu sembilan belas, Tirta menginjak angka dua puluh satu pada usianya. Ia dan kekasihnya—Nirmala—hanya merayakan sebuah ulang tahun sederhana pada restoran favorit mereka berdua. Tetapi setelah memesan menu makanan, sang puan izin kepada Tirta untuk meninggalkan tempat barang sebentar. Ia mengizinkan meski tak tahu apa yang akan dilakukan Nirmala. Katanya, "Aku ada kejutan. Kamu tunggu di sini, ya?"
Lima belas menit berlalu. Dan kala itu, Tirta mengetahui bahwa "kejutan" itu adalah kejutan paling mendebarkan yang pernah ia terima. Pada jalanan depan restoran, melalui kaca yang terkena percikan air hujan, samar-samar laki-laki Desember itu menyaksikan seorang puan yang terlempar bersama kotak rona merah oleh mobil yang melaju cepat. Seketika itu pula dada Tirta terasa dihujami oleh bebatuan besar yang menjadikannya tak bisa bernapas. Ia berlari bersama kepalanya yang sibuk merapal doa; "semoga itu bukan Nirmala". Sebab percikan tirta nabastala membuat kaca memburam. Namun apa yang ia lihat setelah keluar dari restoran ialah satu hal yang nyata. Kini kepalanya seribut gemuruh dirgantara, tangisnya tumpah ruah bersamaan dengan derasnya sendu sedan nabastala. Di tengah jalanan yang menjadi sesak oleh insan yang terhenti di sana, ia berlari menuju Nirmala yang terbaring berselimut darah. Dan untuk terakhir kali, di bawah langit abu dan tirai-tirai nabastala yang selalu menjadi favorit Nirmala, Tirta mendekapnya dengan begitu erat bersama hatinya yang hancur jua kepalanya yang ribut. Ia mendekapnya begitu erat sampai-sampai ingin ikut mati bersama kekasihnya.
Hujan dan Desember. Mengapa harus dua hal itu? Nirmala yang begitu mengagumi hujan, Desember yang selalu tenang, mengapa harus mengantar kepergian Nirmala? Pertanyaan itu terus berputar-putar pada jemala Tirta.
"Maaf, Mala. Aku sudah janji nggak bakal benci hujan, tapi hujan sendiri yang bikin aku benci sama dia." Tirta bermonolog pada akara Nirmala di tengah selaksa tetes nabastala malam. "Maaf, aku sudah berusaha tapi aku nggak bisa untuk nggak membenci hujan lagi." Perlahan, bayang itu hirap bersama hujan yang perlahan mereda.
"Dan lagi-lagi, hujan membawamu pergi."
—————Hujan dan Desember—————
[teddycatsleaf, September 2021]
Akaramu mungkin sekala hirap bersama rintik yang mereda. Sedang asmamu akan selalu abadi dalam renjana. -Tirta, 2021
—————-
Kepada pembaca yang terhormat, terimakasih telah berkenan untuk tandang pada karya amatiran ini. Sampai jumpa!
-Leaf-
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan dan Desember
Fanfiction"Kamu jangan benci hujan, ya?" -Mala "Bukan mauku membenci Hujan, tetapi selaksa tetes nabastala itu membiarkanku membencinya." -Tirta Ini tentang Nirmala, Desember, Hujan dan segala kenang yang luruh bersamanya. ft. 黄仁俊