Gumpalan awan menggantung diri di atas langit, menutup biru menjadi putih, sewarna dengan warna bumi. Setidaknya kali ini. Salju tidak turun, tetapi yang sudah bertumpuk mulai menggunung, akibat badai satu hari yang lalu.
Pakaian tebal semakin dirapatkan, mencegah rasa dingin mengusik jiwa, apalagi mengganggu kegiatan yang membawa rasa ceria. Tak ada yang lebih indah dari berjalan-jalan di sore hari, hanya mengelilingi sekitaran kota, sedang pasangan di samping mendampingi.
Angin cukup tidak bersahabat hari ini, berlalu dengan cepat, berhembus dengan kilat, membawa benda ringan melayang atau sekedar melambai-lambai. Seperti halnya surai, ranting, pula syal pada leher yang menggantung apik.
"(Name), gak mau pulang?" pertanyaan lolos dari mulut, menolehkan kepala menunjukkan perhatian. "Dingin loh, ntar kamu sakit gimana?"
Kepala menggeleng keras kepala, tetap pada jawaban yang sama setelah ditanya lima kali sejak tiga jam yang lalu. "Gak mau, masih pengen jalan-jalan." ia membalas tatapan dengan memelas, berharap mengerti keadaan.
Helaan nafas meluncur begitu saja dari bibir, tergambar lelah yang teramat pada wajah. "Aku capek, (Name). Pulang ya?"
Permohonan pria jangkung di sampingnya membuat ia mengalihkan tatap. Sedikit kesal, tetapi juga paham. (Name) sadar keinginannya sedikit egois, terlebih Mitsuya sudah kelelahan bekerja seharian.
"Ya udah deh, tapi kita ke cafe ujung jalan itu dulu, yuk?" (Name) kembali menatap Mitsuya dengan binar cerah pada permata hijaunya. Menunjuk ke arah depan, tubuhnya sedikit melompat antusias. "Kita santai dulu, sambil istirahat. Kalau langsung pulang kan lumayan jauh. Ya? Ya ya ya?"
Senyum tipis terulas manis, mengangguk tanda patuh. "Iya iya, abis itu pulang, oke?"
"Oke!" seru gadis itu riang, mengangkat sebelah tangannya ke atas dengan senyuman yang senantiasa terpajang indah.
"Eh?!"
Keduanya memekik kaget, dikala angin berhembus kencang, menerpa dan menabrak semua yang ada. Rasa terkejut singgah sesaat dalam hati, seketika memejamkan mata erat sebagai tindak reflek, pula menutup wajah menggunakan punggung tangan.
Surai berwarna peach berkibar lantang tertiup angin, begitu juga syal sewarna iris yang tiba-tiba terbang menjauh dari diri, berlanjut pada permukaan leher yang merasakan sensasi dingin. "Mitsuya! Syal aku!" pekiknya terkejut, sempat mencoba meraih, tetapi gagal ketika angin membuatnya semakin tinggi.
Angin mulai tenang, meninggalkan kedua orang yang termenung menatapi langit. Pandangannya menyendu, menyayangkan sesuatu yang sudah berlalu menjauh.
Hembusan angin lagi-lagi hadir, tetapi tak sekencang sebelumnya, hanya membuat pakaian sedikit terkibas dan anak rambut menari-nari di atas wajah. Kedua tangan terangkat, menyentuh leher yang kini tak lagi terlindung oleh apapun.
'Dingin,' keluhnya dalam hati.
"Ng?" kelopak mata berkedip beberapa kali, ketika sesuatu di hadapannya menghalangi pandang ke depan. "Mitsuya? Ada apa?"
Tak ada jawaban, melainkan langsung tindakan. Sedetik kemudian lehernya tak lagi merasa dingin, sebuah syal berwarna ungu pucat melingkar, membawa kehangatan yang tersampaikan hingga ke hati.
"Kamu aja yang pake, ya, aku gapapa kok." Mitsuya tersenyum hangat, membiarkan dinginnya angin menerpa leher jenjangnya.
Namun,
Responnya tak seperti yang ia harapkan.
"Aduhh!!" suara ringisan lolos dari bibir, lantas menatap gadis di depan dengan pandangan bingung. Sudah dibantu, malah dipukul, anak ini maunya apa? "Kok kepala aku dipukul? Aku salah apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Chocolate || Mitsuya Takashi [✔]
Fiksi Penggemar❝Tentang kita, salju, dan secangkir coklat panas❞ ~ Kisah sehangat coklat panas, di hari bersalju yang dingin bersama Mitsuya Takashi ©Mizura, 2021.