Dari kejauhan Wilda melihat Weldan menumpangi salah satu angkutan umum berwarna biru yang telah melaju. Dengan sigap, Wilda langsung mengejar angkutan umum itu tanpa pikir panjang."Stop!!!!" teriak Wilda, saat hampir sejajar dengan mobil biru itu. Namun, angkutan umum itu tetap tidak berhenti meski dia menepuk-nepuk jendela. Wilda mengehentikan langkahnya, tangannya bertumpu pada dengkulnya, deru napasnya tidak karuan, wajahnya mendadak pucak, keringatnya bercucuran di kening dan juga membasahi kera baju.
Tak lama kemudian angkutan umum itu berhenti. Wilda seakan terkena angin surga, dia tersenyum sumbriga, dia langsung melanjutkan larinya yang sempat tertunda meski napasnya belum stabil.
Semua orang menatapnya tajam, saat dia sudah berada di muara pintu angkutan umum, dia tersenyum kikuk, untungnya dugaannya benar, Weldan memang berada di sini. Dia sedang duduk di ujung, kepalanya menyender dengan jendela. Wilda menelan silanya, dia langsung naik dan duduk di tepat di depan Weldan. Tempat duduk mereka memanjang, jadi Wilda bisa melihat jelas dua bola mata itu walaupun dalam keadaan tertutup.
Wilda tak peduli dengan tatapan sinis orang lain, dia hanya peduli dengan Weldan. Dia tak berhenti tersenyum-senyum, wajahnya segaja dia tutup dengan tas supaya tak disangka orang gila karena tersenyum sendiri.
Di depan sana---dari kaca jendela--- Wilda melihat seorang wanita cantik tengah berdiri menunggu angkutan umum. Wilda biasa-biasa saja sebelumnya. Namun, ketika sang supir mendadak menghentikan angkutan di samping gadis itu meski dia tak memintanya dan apa kalian tahu, kalau tepat ini sudah sempit karena penumpang.
"Tolong geser semuanya," kata sang supir, Wilda hanya menganga, kalian tahu sendiri bagaimana susah payahnya dirinya supaya dia mendapatkan tumpangan di sini. Dan dia dengan mudahnya mendapatkan itu semua karena dia cantik.
"Ais ini tidak adil!"
Tetapi dia harus menerima ini dan menelannya pahit-pahit. Dunia ini sungguh tidak adil bagi mereka yang tak cantik.
****
Weldan turun dari angkutan umum diikuti Wilda dibelakangnya. Tetapi sepertinya laki-laki itu tak tahu tentang hal ini, terlihat wajahnya yang biasa-biasa saja. Namun, lagi pula kenapa juga diharus berekspresi tidak biasa.
Weldan menyodorkan selembar uang merah.
"Nggak ada uang kecil?" tanya sang supir, melihat tak ada kembalian.
Weldan merogoh kedua saku celananya. Walaupun dia tahu takada uang kecil.
"Nggak ada."
"Pake ini aja." Wilda menyela ucapan mereka. Dia menyodorkan uang sepuluh ribu ke Weldan.
Weldan menatap Wilda yang ada di depannya.
"Kamu ...." Weldan mengerutkan keningnya melihat Wilda ada di hadapannya. Tampaknya dia tak menyadari itu dari tadi.
"Ini," desak Wilda, karena tak ada tanggapan dari Weldan.
"Aku tak ingin berhutang dengan orang lain," kata Weldan. Dengan cepat Wilda menggelengkan kepalanya.
"Bukan ... maksudnya bukan begitu kak. Kakak udah bantuin aku kemarin dan aku merasa berhutang mudi dengan kakak," ucap Wilda terburu-buru. Dia merasa ketakutan hingga suaranya terdengar gemetar.
"Pelan-pelan, aku tak mengerti apa yang kamu bicarakan," balas Weldan. Mendengar perkataan Weldan membuat Wilda mati kutu.
"Hah? Eh, begini. Maksudnya kakak udah bantuin aku kemarin. Dan aku ... sangat berterimakasih dengan itu."
"Aku cuma bantuin kamu, aku nggak berharap balasan apapun."
"Setidaknya ini untuk uang roti itu," kata Wilda penuh harap.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY Favorit Senior
Teen FictionIni kisah perjalanan hidup Wilda Seftiana yang mengalami kehidupan sulit akibat memiliki wajah yang kurang bagus. Dia mendapatkan julukan 'pemilik wajah kutukan atau kutukan wajah.' "Ibu, kenapa aku terlahir buriq?" "Tidak, sayang. Kamu hanya kuran...