"Lo serius Wil mau deketin Kak Weldan?" tanya Karla sebelum Wilda membuat keputusan yang bulat. Kita sama-sama tahu, kalau Weldan bukan orang biasa. Murid pintar, jago basket, tampan pula, tentunya Wilda harus benar-benar memikirkan ini matang-matang.
"Iya, Wil. Kamu itu harus pikirin ini matang-matang. Gimana, ya ... kami itu bukan mau membuatmu putus asa, tapi ... ya gitu deh," tambah Kena.
"Aku tuh serius. Gimana sih kalian?"
"Gini-gini, gue punya solusi. Gimana kalau kita datang ke dukun saja. Kita pelet Kak Weldan supaya suka sama Wilda," kata Risa antusias.
"Gila kamu Ris! Ide apaan tuh," sambar Kena.
"Gue serius Ken! Kakak gue juga kayak gitu dulu," balas Risa menyakinkan.
"Kakak kamu juga ngelakuin itu?" Kena tak percaya. "Tapi bukannya dia cantik, ya?"
"Cantik itu sekarang udah banyak Ken. Yang penting ada orang dalam, umpannya tuh."
"Boleh juga. Terus gimana? Berhasil?" tanya Karla yang penasaran.
"Nggak," ucap Risa lesu.
"Kenapa?" tanya mereka serempak yang mulai terbawa dengan alur cerita dari Risa.
"Pas datang ke rumah dukunnya, eh ternyata dia meninggal bertepatan dengan hari itu," ungkap Risa, mendadak mereka serempak menghela napas berat.
****
"Wilda! Mana nama tag kamu!? Kamu mau di hukum!?" teriak Bu Santi---pengawas sekolah. Dia memang suka memperhatikan seragam-seragam murid, apalagi jika dia memang tidak taat aturan.
"I-ini bu."Wilda menunjuk di seragamnya. Tetapi itu ternyata tidak ada dan membuat Bu Santi bertambah marah.
"Mana!?" tanya Bu Santi dengan tatapan mengintimidasi.
"Tadi di sini bu." Wilda tak mau kalah. Dia merasa menggunakan nam tag itu dari kemarin, kalau hari ini tidak ada, berarti dirinya memang sudah tidak mengunakan itu dari kemarin. Dan bagaimana Weldan mengetahui namanya?
"Satu kali lagi kamu kedapatan tidak menggunakan nama tag kamu. Saya tidak akan segan-segan menghukum kamu!" ancam Bu Santi. "Saya tak pernah peduli kamu murid baru apa bukan. Yang penting bagi saya, kalian mentaati aturan di sini jika mau tetap bertahan di sekolah ini," lanjut Bu Santi kemudian berlalu pergi meninggalkan Wilda yang masih kebingungan di gerbang sekolah.
"Lantas bagaimana kemarin Kak Weldan tau namaku? Bukannya kemarin juga aku tidak memperkenalkan diri. Apa dia memiliki kekuatan gaib? Ah, aku mikirin apa, sih!" Wilda menggelengkan kepalanya sembari melanjutkan langkahnya ke kelas.
****
Bunyi bel telah berbunyi, menandakan jam pelajaran akan segera dimulai. Semua murid yang ada di luar kelas langsung berhamburan masuk ke kelas masing-masing dan bersiap-siap menyambut kedatangan guru mereka.
Sama halnya dengan kelas IPA 5. Mereka berdiri memberikan salam di tuntun oleh ketua kelas ketika seorang guru telah masuk.
Pak Bima mulai menjelaskan tentang mata pelajarannya yaitu biologi. Dia menerangkannya dari bab pertama, menyibak halaman demi halaman.
Seperti sekolah lainnya, ada yang mendengarkan dan sebagian yang lainnya malah sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Tiba-tiba suara handphone terdengar di kelas. Awalnya sayup-sayup sampai akhirnya mengeras, itu membuat Pak Bima mendadak diam. Matanya mulai mengedar ke arah ruangan kelas. Bersiap-siap mengintimidasi sosok yang membuat pelajaran terganggu.
Cepat-cepat Wilda melihat tasnya, karena kemarin dia yang terkena kasus duluan. Sama seperti hari ini dan karena itu handphonenya sampai harus ditahan beberapa hari oleh guru yang sama walaupun dia murid baru. Tetapi sepertinya dia sudah banyak sekali terkena masalah, padahal belum sampai sebulan dia di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY Favorit Senior
Novela JuvenilIni kisah perjalanan hidup Wilda Seftiana yang mengalami kehidupan sulit akibat memiliki wajah yang kurang bagus. Dia mendapatkan julukan 'pemilik wajah kutukan atau kutukan wajah.' "Ibu, kenapa aku terlahir buriq?" "Tidak, sayang. Kamu hanya kuran...