Bunga Kantil (3)

30 18 4
                                    

"Jangan pake metode itu lagi! Gue udah kapok!" ungkap Karla. Dia masih memikirkan kejadian semalam. Bagaimana mungkin mereka dikejar hantu? Bahkan dia percaya kalau hantu itu hanyalah mitos belaka, tetapi sekarang sudah menjadi fakta. Bahkan dia masih mengingat bagaimana celananya kedodoran.

"Hantunya pake baju lagi. Kira-kira belanja di mana ya?" Risa bergidik ngeri. Bisa-bisanya hantu belanja baju, kayak baru pula, gue yang manusia saja kumelan, pikir Risa.

"Kamu ini, lagi serius juga!" sewot Kena. Teman-temannya lagi ketakutan, dia malah sempat-sempatnya bercanda

"Rasain kalian! Mau ninggalin aku 'kan di sana sendirian? Gimana sekarang rasanya? Mantap, bukan?" Wilda tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi ketiga sahabatnya ini.

"Aku nggak ikut-ikutan Wil," protes Kena. "Ini 'kan idenya mereka berdua."

"Udah kayak gini juga, masih aja lo Ken nyalahin," ucap Karla.

"Lah, emang ide dari kalian berdua 'kan?"

"Gue juga nggak ikut-ikutan. Ini sepenuhnya ide Risa. Dia juga yang ngasih saran untuk ke dukun," tekan Karla. Dia menatap Risa, Risa yang mulai terancam angkat bicara.

"Gue 'kan cuma ngasih pengalaman dari kakak gue aja. Mana tau bakal jadi kayak gini." Risa membela diri.

"Stop, dari pada kita berantem, mending kita ngomongin valentine besok," saran Kena. Pupil beralih ke arah Wilda.

"Kita bisa nyiapin sesuatu gitu untuk diberikan dengan Kak Weldan terutama Wilda," lanjut Kena.

"Oh iya-ya, besok 'kan valentine. Dan biasanya kalau valentine itu identik dengan coklat. Gimana kalau lo ngasih coklat ke Kak Weldan?" tanya Karla kepada Wilda.

"Iya, bener tuh. Tapi bagaimana kalau bunga aja. Biar beda gitu, hahaha," pikir Kena.

"Iya, bunga aja," jawab Risa antusias.

"Bunga apa?" tanya Wilda. Kalau dipikir-pikir ide Karla kali ini bener juga.

"Mawar?"

"Jangan! Mawar itu udah biasa. Pokoknya bunganya yang anti mainstream," kata Risa.

"Bunga apa?" Wilda bingung. Bukannya selama ini paling banyak digunakan mawar. Terus sekarang mau pake apa? Jangan-jangan sahabat-sahabatnya ini ingin melakukan hal-hal aneh. Bulu kuduk Wilda mulai merinding. Pasalnya sahabatnya ini memang gila kalau memilih sesuatu.

"Udah, tenang aja. Kami yang urus." Justru ucapan Kena kali ini makin membuatnya takut. Selama ini dia selalu dipermalukan atas kelakuan sahabatnya ini. Jangan sampai besok ... ah entahlah. Wilda pasrah kali ini. Apalagi melihat wajah mereka yang saling bertatapan itu bertambah ngeri. Tetapi apalah daya, Wikda hanya bisa menunggu hari besok. Entah apa yang akan terjadi.

                       ****
Mereka berempat berbondong-bondong berjalan mencari Weldan, lengkap dengan kresek hitam yang ada di tangan Kena. Kena mendorong  tubuh Wilda saat mereka melihat Weldan ada di sana. Wilda tak mau, dia bahkan ingin melarikan diri, tetapi sahabatnya ini malah memegangi dan mengancamnya. Terpaksa Wilda melakukannya walaupun sebenarnya dia ingin. Kalau boleh jujur, sumpah saat ini Wilda benar-benar mati kutu.

Kena memberikan kresek hitam itu pada Wilda. Wilda hanya diam tak berdaya  melihat tingkah sahabatnya ini. Wilda mendekati Weldan yang berada di dekatnya. Jantung Wilda berdegup sungguh kencang, tangannya dingin bagai es di tambah bibirnya yang gemetar. Lengkap sudah penderitaan Wilda kali ini.

Weldan menutup teleponnya dan menyadari sosok yang tengah menghampirinya.

"Ada apa?" tanya Weldan pada Wilda yang berdiri di hadapannya. Pasalnya dari tadi dia menunggu gadis ini untuk berbicara, tetapi jangan 'kan bicara badannya saja sudah kaku.

MY Favorit SeniorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang