[13] Bintang yang Sekarat dan Dekap Hangat

6.9K 693 239
                                    

"Ayah ..." Ares memanggil sang ayah tanpa menoleh. Netra kembarnya terpaku menatap hamparan langit kelam.

"Hm?" Juna menyahut namun tak mengalihkan atensinya.

"Ayah mau tau sesuatu ngga?"

"Apa?"

"Salah satu bintang lagi sekarat loh."

"Bintang yang mana?"

"Antares."

Juna menoleh setelah mendengar satu kata itu. Wajah dengan binar sendu sang anak dapat ia lihat jelas diantara redup lampu jalan.

"Menurut salah satu artikel yang Ares baca, para astronom menemukan hidrogen bintang Antares udah habis. Hal ini ngebuat Antares make helium supaya bisa tetap bercahaya," jelas Ares. "Kalo udah gunain helium, Antares bakal menggembung dan menyusut lagi sampe ke intinya. Terus, dia bakal mengonsumsi elemen-elemen lain kayak karbon, neon, oksigen, silikon, juga besi."

Otak jenius Juna masih belum memahami maksud tersirat dari cerita Ares. Kenapa anaknya tiba-tiba membahas bintang Antares yang sekarat?

Mengulas senyumnya, Juna lalu menggusak surai lembut anak tengahnya itu. "Jagoan ayah sekarang hobi baca artikel, ya?"

Ares mengangguk. "Masih ada sambungannya loh, ayah mau denger lagi?"

"Boleh."

Selepas menghela napas pelan, Ares melanjutkan ceritanya. "Nanti, kalo inti besi udah mencapai batas tertentu, Antares bakal meledak dalam supernova. Tapi, para astronom sendiri ngga bisa memprediksi kapan Antares meledak. Bisa aja besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau bisa jadi beberapa ratus tahun lagi."

"Dan ayah tau apa yang menarik?" tanya Ares, matanya berkedip laun.

"Apa?"

"Kecerahan ledakan Antares diperkirakan bakal setara dengan kecerahan gabungan seluruh bintang di galaksi kita."

"Antares-nya skorpio hebat ya, Yah? Sekalipun udah hilang dan meledak, cahayanya tetep bisa memancar sampe ke bumi meski butuh waktu yang lama." Kali ini, Ares memberi atensi penuh pada sabit kembar sang ayah yang juga menatapnya.

"Gimana kalo nanti Antares meledak ya, Yah?"

Juna tak langsung menyahut. Sekarang, ia berhasil menangkap makna mendalam yang secara tak langsung ingin Ares salurkan padanya.

"Semesta bakal kehilangan salah satu bintang paling terang di langit," sahut Juna.

Ares mengangguk.

Jujur, Juna tak nyaman dengan pembahasan ini. Sebab, Antares yang anaknya maksud memiliki makna ganda. Entah itu bintang, atau justru dirinya sendiri. Karenanya, Juna berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka. Hingga tanpa sengaja, sabitnya menatap tangan Ares yang mengeluarkan banyak keringat, bahkan di cuaca sedingin ini.

Juna mengambil tangan Ares. "Tadi 'kan udah ayah bilang, sarung tangannya jangan dilepas," katanya, mengingat kembali Ares yang melepas sarung tangan dan syalnya dengan alasan gerah.

"Tangannya masih sering keringetan sampe basah gini, Kak?" Juna mengusap telapak tangan Ares dengan ujung bajunya.

"Iya. Sering banget, malah. Kadang bisa lebih basah dari ini." Ares tak bohong. Ada masa dimana telapaknya basah bak baru selesai cuci tangan. Apalagi jika jantungnya tengah kumat. Pernah waktu itu saat tengah mencatat, bukunya sampai ikut basah karena ulah tangannya.

Usapan Juna terhenti. Atensinya naik, menatap netra elang Ares yang terlihat menyendu. "Sabar ya, Nak. Nanti pasti ada donor katup yang cocok buat kamu."

HOME [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang