[3] Boleh Suka

11 9 6
                                    


Ordya menyambut pagi dengan suram karena salah satu miniatur gorilanya raib. Mengingat harga lumayan serta perjuangan menabung dalam waktu lama membuatnya makin merana. Gadis itu telah mencoba mengacak-acak isi kamar, benar-benar menghilang.

Mama hanya bersikap bodo amat melihat putrinya, sudah biasa. "Mending kamu jajan cimol sana, gadis kok mainannya gorila. Mau jadi pawang kebun binatang?"

Gadis itu hanya nyengir dan mengangguk, tawaran bagus. Mama makin melirik tajam mengingat putrinya baru saja menghilangkan tupperware. Berkilah ratusan kali tetap saja disalahkan. Pada akhirnya, Ordya harus tabah saat uang jajan berkurang. Katanya untuk mengganti tupperware yang hilang.

Ordya tersenyum kecut, Wazka—nama miniatur gorila—adalah hasil barter dengan tabungan. Dompetnya benar-benar berdebu sekarang. Ia mendengkus, Mama memang tidak berperikeuangsakuan.

"Kenapa lo kayak gegana gini?" tanya Angela melihat kelesuan Ordya.

"Ya gitulah," balas Ordya seadanya. Gadis utu menelungkupkan wajah ke bangku, merasa tak ada gunanya menceritakan apa yang terjadi pada Angela. Ujung-ujungnya ia harus tetap berlapang hati.

"Gue tau, kayaknya lo ada masalah, ya?" terka Angela yang tak dijawab apapun oleh Ordya, "tapi, semangat, Dya. Jangan gila dulu."

Ordya mendengkus tanpa berganti posisi. Dia memejamkan mata, ingin tidur untuk beberapa menit saja. Namun, saat mimpi tinggal selangkah lagi, salam dan sapaan khas guru Bahasa Indonesia meliuk-liuk di telinga. Dia bergegas duduk meski badannya loyo.

"Materi hari ini adalah teks eksplanasi. Buka LKS kalian pada halaman dua puluh delapan. Kerjakan dan jangan berisik."

✧✧✧

Ordya membereskan alat tulisnya secepat mungkin. Dia bergegas keluar kelas tanpa mengindahkan tatapan bingung Angela. Dengan tidak santai, dia berjalan menuju kelas Afgan. Bisa-bisanya cowok itu sekelas dengan mantan pacarnya.

"A-"

"Eh, Argan! Mantan lo tuh."

Ordya melotot tak suka. Kalau matanya bisa mengeluarkan sinar laser, maka tubuh siswa itu sudah hancur lebur menjadi debu. Arta hanya cengengesan ditatap seperti itu, tampak sekali berniat mempermalukannya.

"Awas aja! Gue cincang lo abis ini!" Ordya melempar tatapan mematikan.

"Wuish, hai!" sapa Argan yang tiba-tiba muncul dengan kaos olahraganya.

Dulu Ordya akan semakin jatuh cinta melihat sosok Argan, tetapi sekarang tidak sama sekali. Dia sangat muak melihat wajah sok kalem itu. Selain playboy cap biawak, Argan bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Hal ini tentu saja membuat tensi darahnya melonjak.

"Kenapa lo ke sini? Kangen sama mantan?"

Ordya tidak tahu apakah itu termasuk godaan atau bukan. Dia mendesis kesal, lalu bertanya, "Gue nyari Afgan. Dia di mana?"

"Lo udah move on dari gue?" Argan menaikkan sebelah alisnya, "Dan sekarang mau ngincar saudara gue? Sok cantik lo jadi cewek."

"Kenapa emangnya?" tanya Ordya balik, merasa tidak terima dengan ucapan sampah tadi, "gue emang cantik karena gue cewek! Nggak usah munafik. Yang pernah bilang gue kayak bidadari siapa? Lo kan, Kadal."

Ordya dapat melihat sorot mata Argan yang menajam. Gadis itu juga sadar pada Arta yang menguping dari belakang mantannya. Tanpa merasa bahwa ucapannya kelewatan sebab faktanya memang begitu. Orang yang memilih meninggalkan lebih berpotensi susah melupakan, terbukti dari sindiran Argan.

"Atau jangan-jangan ... gue masih ada di hati lo, ya?" Ordya tersenyum manis, "sayang sekali, Brother. Cinta gue udah habis. Semangat."

Argan menahan geraman. Ordya dapat merasakannya dari rahang yang mengeras dan napas memburu cowok di hadapannya. Dengan masih mengukir senyum, dia melambaikan tangan serta mengucapkan sampai jumpa. Dalam hatinya berharap tak akan pernah bertemu dengan Argan, lagi.

"Murahan."

✧✧✧

"Aveeen!"

Afgan menghela napas. Konsentrasi membacanya buyar karena teriakan Ordya. Gadis itu tampaknya belum sadar bahwa suaranya bisa mematikan fungsi telinga.

"Kenapa?" Afgan tetap membalas meski setengah tak niat.

"Lo ngapain, sih? Baca buku terus, emang mau lomba atau gimana?" Ordya melirik isi buku Afgan, "baca novel, gih. Lebih manis cinta-cintaannya daripada itu. Aduh, nggak bisa nembus ke otak gue."

"Emang lo pakek otak?"

Ordya memberengut. "Sombong banget ya, mentang-mentang siswa rajin. Kalau semisal kepentok pohon terus lo kehilangan kepintaran gimana? Jadi bego? Pasti berat banget."

"Enggak berat. Gue bisa belajar lagi. Jangan samain kepala gue sama kepala lo," kata Afgan nyelekit.

Ordya melirik Afgan sinis. Tak berniat melanjutkan percakapan lagi. Dia teringat perkataan terakhir Argan. Berubah. Cowok itu seperti berbeda orang dengan Argan yang pernah Ordya sukai.

"Eh, Aven." Meskipun Afgan tidak menyukai panggilan itu, dia tetap bergumam sebagai balasan.

"Gue boleh tertarik sama lo?"

Afgan terkejut dengan pertanyaan frontal tersebut, tetapi balasannya membuat Ordya melebarkan senyuman. "Boleh."

"Kalau suka sama lo?"

Cowok itu menggeleng pelan menghadapi tingkah tiada habis. "Boleh juga."

"Apa yang gue mau, lo bolehin?" Ordya semakin bersemangat.

"Asalkan lo nggak cinta sama gue."

✧✧✧

Halo!
Bagaimana part ini? Semoga suka, ya. ( ◜‿◝ )♡

Hayuuuk 🐋
Vote dan komen, ya.

31 Mei 2024

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sayang SaudaramuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang