Amira 8

468 87 6
                                    

Amira tidak mau turun dari punggung Emir, saat lelaki itu tengah mengonfirmasi bookingan kamar, di salah satu resort terkenal di Bali. Ami berusaha merayu puterinya agar mau turun, tetapi Amira menolak. Malah tangannya semakin kencang memeluk leher Emir. Apa lelaki itu marah? Tentu tidak. Emir malah tertawa cekikikan melihat kelakuan Amira yang sangat menggemaskan. 

Ami memperhatikan tempat paling bagus seumur hidup baru ini ia kunjungi. Yaitu, Bali dan benar-benar sangat bagus resort yang mereka datangi saat ini. Ada hamparan sawah hijau nan asri, udara segar, pepohonan seakan bersahabat dengan angin. Menambah kesejukan pada setiap orang yang berada di sana. Kolam renang dengan bentuk lonjong, bulat, dan juga kotak, tepat di atas tebing dengan pemandangan hutan tropis yang memanjakan mata. Benar-benar vitamin mata.

"Selamat bersenang-senang dengan keluarga," ucap pelayan resort ramah saat menyerahkan kunci kamar pada Emir.

"Terimakasih."

"Ayo, kita naik!" ajak Emir. Aminarsih mengangguk paham. Kakinya mengikuti langkah Emir dari belakang. 

"Saya udah bilang, kalau jalan jangan di belakang saya," suara Emir terdengar tak suka. 

"Maaf, Tuan," cicit Ami tanpa berani mengangkat wajahnya. 

"Sini!" Emir menaruh tangan Ami di lenganya, persis seperti Ami yang merangkul lengan Emir. Jantung Ami berdetak cepat, wajahnya pun seketika pucat. Tulang kakinya melemas seakan tidak mampu dilangkahkan. Keadaan seperti ini membuatnya ketakutan, tetapi Emir tidak menyadarinya. Lelaki itu asik menimpali ocehan Amira yang bertanya segala sesuatu yang asing bagi dirinya.

Emir menoleh sekilas pada Ami dan mendapati tangan wanita yang memegang lengannya, bergetar hebat. Wajah Ami pucat dan sangat kaku, persis seperti sedang melihat setan.

"Ya ampun, kamu pegang tangan manusia ini, Ami. Bukan tangan setan, apalagi pocong! Ha ha ha ... ya ampun, kenapalah aku bisa terdampar dengan dua wanita menggemaskan seperti ini?" ledek Emir membuat Ami menyeringai, sambil menyingkirkan tangannya.

"Itu apa, On?" (Om)

"Kolam renang. Baguskan?" 

"Oan lenan." (Kolam renang) Amira menirukan.

"Tu apa?" (Untuk apa)

"Berenang."

"Apa itu, belenan?" 

"Mmm ... berenang itu, mmm ...." Emir memikirkan  perumpamaan sederhana yang bisa dimengerti Amira.

"Seperti ikan di dalam air, Kak. Kakak bisa berenang?" tanya Emir. Amira menggeleng, lagi-lagi matanya menatap takjub lingkungan asri yang baru kali ini ua kunjungi.

"Ini dia kamar kita!" seru Emir semangat, saat membuka lebar kamar paling bagus yang ia pesan di resort ini. Kakinya melangkah lebih dahulu masuk ke dalam kamar yang besar dan bagus, dengan kaca transparant hampir di sekelilingnya, sehingga kita bisa melihat pandangan asri nan eksotis di luar sana.

Amira merangsek turun dari pungung Emir. Ia berlari ke sana-kemari dengan riang. 

Hap!

Amir melompat naik ke atas ranjang besar dengan taburan kelopak mawar yang sangat indah. Ada kain putih yang dibuat mirip sepasang angsa putih saling berciuman.

"Amira, tidak melompat, Nak!" tegur Ami, tetapi Amira malah semakin kencang melompat.

"Kita sarapan dulu ya, baru berenang," ujar Emir memasukan tas ranselnya ke dalam lemari pakaian yang cukup besar.

"Dak, mau. Mila nau bobo aja, cama coang." Amira menggeleng, tubuhnya meliak-liuk senang di atas ranjang empuk nan bersih lagi wangi. Kepalanya ia taruh si badan angsa, tampak begitu gembira.

"Bagus sekali kamarnya, Tuan."

"Ini sebenarya kamar bulan madu saya," ujar Emir sambil menunduk kecewa.

"Saya memesannya sebulan sebelum hari pernikahan. Apalah daya, ternyata istri saya yang artis, memilih mengejar kontrak ratusan juta, daripada ada di sini menemani saya. Tahu begitu, sejak awal saya tidak jatuh cinta pada public figure," lanjutnya masih dengan raut kecewa.

"Sabar ya, Tuan. Mungkin saja istri Tuan memang harus mengambil pekerjaan itu. Jika istri Tuan sukses, ia bisa menyenangkan Tuan," hibur Ami sok tahu. 

"Mau dia artis, dokter, permaisuri sekalipun, ia tetap harus patuh suaminya, perintah suami itu harus ditaati, Ami," timpal Emir yang masih merasa kesal bila mengingat sang istri. Ami tak bicara lagi, khawatir merusak mood Emir.

"Tita bobok cini ya, On?" (Kita bobok sini ya, Om?) sela Amira.

"Iya."

"Amira senang tidak?" 

"Cenang cekali. Amila da mau pulan. Lumahnya cicini aja ya. Da mau di lumah tontatan On tanal." (senang sekali. Amira tidak mau pulang. Rumahnya di sini saja ya. Gak mau di rumah Om Kamal.)

Ocehan Amira membuat Emir yang tadinya sedih, menjadi tertawa. Cepat Emir menggendong Amira, membawanya ke balkon kamar dengan pemandangan yang luar biasa bagus.

Aminarsih pun ikut berjalan ke balkon kamar. Udaranya sangat asri dan suasananya menenangkan. Ia berdiri di samping Emir, sedikit menjauh, hingga lelaki itu sendiri yang mendekat padanya dengan membawa Amira dalam gendongannya.

"Mulai hari ini, kamu adikku dan Amira keponakanku. Mau'kan?" Emir merangkul pundak Aminarsih, kemudian mengusap pucuk kepala Aminarsih.

****
Sesi foto beberapa kali gagal. Farah tak bisa konsentrasi gara-gara kabar dari Seno, temannya yang juga teman Emir saat kuliah di Humboldt. Ditambah, ponsel suaminya yang tak kunjung aktif dari kemarin.

"Sayang, kenapa sih ga konsen?" tegur Daniel managernya.

"Aku keingetan Mas Emir."

"Hhhhmmm ... Padahal ada aku yang temani kamu di sini. Masih ada keingetan lelaki itu. Semalam apa kurang? Hum?"

****
~Bersambung~

Versi lengkap sudah tersedia e-booknya di google play store ya. Jangan lupa, beli yang original hanya di google play store. Terima kasih ❤️😘

Papa Untuk Amira (Tersedia Versi Ebook Di Google Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang