Amira 16

714 107 10
                                    

Bu Farida di bawa ke ruangannya oleh Emir. Wanita paruh baya itu pingsan, setelah mendengar anak kecil cantik memanggil anaknya dengan sebutan 'papa'. Tubuhnya lemas tak bertulang, menerima kenyataan yang belum ia cek kebenarannya. 

Ami hanya bisa berdiri sambil gemetaran di depan pintu kantor Bu Farida, sambil memegangi tangan Amira. Ia lupa, jika kemarin Suraya mengatakan warung soto Bu Farida adalah milik ibunya, warung soto tempat dirinya menitipkan peyek selama hampir dua tahun ini.

"Jangan pulang dulu ya, nanti saya antar," kata Emir pada Ami, ketika selesai membaringkan mamanya di kasur dalam ruangan.

"Iya, Mas." Ami mengangguk paham.

"Ayo, masuk. Kita jelaskan pada mama saya." Emir sudah menggendong Amira masuk ke dalam ruangan kantor.

"Eko, buatkan dua mangkuk soto dengan nasinya untuk saudara saya ini ya."

"Baik, Mas." Lelaki bernama Eko, salah satu karyawan Bu Farida yang baru saja membawakan teh untuk Bu Farida, bergegas kembali ke dapur, menyiapkan makanan yang dipesan Emir.

"Mas, saya di rumah masak," interupsi Aminarsih.

"Gak papa, makan di sini, temani saya." Emir tersenyum, lalu menoleh pada mamanya yang mulai sadar. Ia terus mengoleskan minyak kayu putih di pangkal hidung, serta di leher Bu Farida. Sambil memijat lembut kepalanya mamanya.

"Ma, minum tehnya yuk!" Emir membantu Bu Farida untuk duduk. Ami semakin ketakutan, apalagi Bu Farida kini tegak lurus duduk di depannya sambil memandang dirinya dengan sejuta tanya. Emir menyodorkan teh ke dalam mulut mamanya, sedikit demi sedikit, hingga pucat wajah berangsur pulih.

"Sekarang, ceritakan pada Mama, ada apa sebenarnya ini? Bagaimana kamu bisa punya anak dari wanita lain, padahal kamu baru saja menikah?"

"Eh, Oma sudah sembuh ya," tegur Amira sambil memperlihatkan susunan giginya yang rapi.

"Sini sayang!" panggil Emir, Amira tentu saja langsung melesat duduk di pangkuan Emir dengan gembiranya.

"Ma, itu Aminarsih dan ini Amira. Mama masih ingat beberapa tahun lalu, Emir pernah cerita menyelamatkan seorang wanita yang baru melahirkan di dalam villa, mereka inilah orangnya. Dan ini, si bayi cantik itu, sudah membuat Papa Emir jatuh cinta berat."

"Oh, begitu. Makanya Mama kaget, kok bisa kamu dipanggil Papa sama orang lain. Duh, untung Mama cuma pingsan karena lemas, bukan karena jantung Mama." Bu Farida menepuk lengan Emir.

"Oma, Papa Emil dak boweh di putul, ntal nanis lho Papa Emilnya," ujar Amira sambil mengusap lengan Emir yang baru saja di tepuk oleh Bu Farida.

"He he he ... lucu sekali kamu, Cantik." Bu Farida ikut mencolek pipi Amira. Ada raut kelegaan di wajah Ami, setelah menangkap ekspresi Bu Farida yang cukup baik, setelah mengetahui siapa dirinya dan juga Aminarsih. Ami mengira mungkin kehadirannya tidak akan diterim oleh mama dari Emir, ternyata ia salah, wanita paruh baya di depannya saat ini, malah sedang memangku Amira, tepatnya sambil menyisir rambut puterinya.

Tuk!
Tuk!

"Permisi, Mas Emir. Ini sotonya!" 

"Taruh di meja depan saja, saya nanti ke sana." 

"Baik, Mas."

"Ma, saya mau makan dulu ya, laper. Habis tuh mau antar Ami pulang."

"Farah ke mana?"

"Lagi ada shuting, Ma."

"Oh ya sudah. Salam buat Farah."

"Iya, Ma. Ayo, Amira. Salim dulu sama Oma, kapan-kapan main lagi ke sini ya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Papa Untuk Amira (Tersedia Versi Ebook Di Google Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang