Amira 10

508 94 10
                                    

Emir terbangun dari tidurnya. Suasana kamar sudah gelap, udara juga sangat dingin di atas sini, walau ada selimut tebal menutupi tubuhnya. Lelaki itu menoleh ka arah perutnya, ada tangan kecil nan montok sedang bertengger di sana, seakan memeluknya. Emir tersenyum tipis, lalu mengangkat jemari itu, kemudian mengecupnya. Tunggu, tapi di mana Ami? Mata Emir menangkap sosok yang tengah meringkuk kedinginan di sofa. Pelan Emir bergeser turun, agar Amira tidak terbangun.

"Ami, Ami, kenapa malah tidur di sini?" Emir mengangkat tubuh ringan Aminarsih dengan pelan dan hati-hati, lalu membawanya ke atas ranjang besar nan empuk. Mendekatkannya pada Amira. Dua wanita berambut kriting itu kini sudah berdampingan dan sangat lucu. Emir pun ikut naik, kemudian berbaring di sebelah Amira, melanjutkan tidurnya.

Pagi menjelang, sayup-sayup suara musik khas Bali mengalun merdu di area resort. Udara pagi yang terasa sejuk dan dingin, sebenarnya membuat orang malas untuk bangun. Sama halnya dengan Amira, Aminarsih, dan Emir. Ketiganya masih bergelung dalam selimut, sangat berat untuk membuka mata. Namun, ada pemandangan yang sangat manis saat ini, jika semalam Amira yang tidur memeluk Emir, maka pagi ini posisinya sudah digantikan oleh Aminarsih. Ya, Ami tidur sangat nyenyak sambil memeluk Emir, di ruang bawah sadarnya. Kepala Ami berlindung di balik hangat dadanya Emir, dengan tangan kanan memeluk Emir. 

Lelaki itu pun sama, ikut memeluk Ami dengan hangat dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya ada di pundak Ami. Keduanya seakan enggan membuka mata, pemandangan sangat romantis bagi siapa saja yang melihatnya. Persis bagaikan pasangan suami, istri, dan anak yang masih terlelap di atas ranjang.

Amira yang mulai merasakan hawa dingin di kulitnya, terbangun dan langsung duduk. Sambil mengucek kedua matanya, Amira melihat lelaki yang mulai kemarin ia panggil papa, sedang memeluk ibunya.

"Papa, Ibu, banun!" Amira menggoyangkan selimut. Kedua orang dewasa itu bukannya terbangun, malah semakin mengeratkan pelukan. Ami semakin masuk mengeratkan pelukan pada Emir, lagi-lagi di bawah kesadarannya. Amira memilih turun dari ranjang, lalu menghampiri kue ulang tahun yang tersisa sebagian di atas meja. Gadis kecil itu memakannya dengan sangat nikmat, sambil menikmati pemandangan alam hijau yang sangat segar dipandang mata. 

Wajahnya, lehernya, tangan, dan kaki Amira sudah belepotan krim kue ulang tahun. Gadis itu mengoceh tak jelas sambil menikmati sarapan paginya dengan nikmat. Emir tersentak, begitu pun Aminarsih. Keduanya saling menoleh dan menyadari posisi masing-masing. Bahkan tangan Ami masih belum berpindah dari pinggang Emir.

"Eh, maaf Mas. Aduh, saya kok bisa di sini?" Ami beringsut menggeser tubuhnya. Wajahnya sudah merah padam karena malu. Bukan hanya Ami, Emir pun merasakan malu yang sama. Pantas saja tidurnya sangat nyaman, ternyata sedang memeluk Aminarsih. 

"Sini!" Emir menahan tangan Ami yang baru saja hendak turun dari ranjang. 

"Kenapa, Mas?"

"Itu celana pendek saya nyangkut di kaki kamu!" tunjuk Emir pada kaki Ami yang terbungkus celana boxer kendor Emir. Lelaki itu hampir saja meledak tawanya, namun ia tahan. 

"Eh, alah. Kok bisa masuk ke kaki saya. Aduh, Mas, maaf." Ami benar-benar merasa tak enak. Cepat ia melepaskan celana boxer Emir, lalu memberikannya pada Emir tanpa mengangkat wajahnya.

"Eh, Ibu dan Papa tudah banun. Ayo, cini tita calapan," panggil Amira dengan wajah belepotan kue.

"Ya Allah, Mira. Berantakan sekali, Nak." Ami menghampiri Amira, lalu mengangkat box kue ke atas meja.

"Maaf, Mas. Akan saya bersihkan dulu."

"Eh, gak papa. Biar petugas kebersihan saja yang mengurus." Tahan Emir dengan menggeleng pada Ami. Lekas lelaki itu memwncet nomor pelayanan kamar.

Papa Untuk Amira (Tersedia Versi Ebook Di Google Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang