Amira 1

1.1K 134 5
                                    

"Ayo, Mbak Ami. Udah ditunggu Bu Fero," ujar Kamal tetangganya.

"Beneran bawa Amira gak papa?"

"Gak papa. Udah ayo cepat!"

Lelaki muda itu berjalan lebih dulu meninggalkan Ami yang sedang merapikan tas yang berisi susu, baju ganti, dan juga cemilan untuk Amira, anaknya yang baru berusia dua tahun.

Pagi ini, ia dapat pekerjaan sampingan menjadi pelayan catering, untuk sebuah pesta pernikahan. Pekerjaan yang selalu diberikan Bu Fero padanya. Lumayan untuk tambahan bayar kontrakan, selain membuat peyek, lalu menjualnya dari warung ke warung.

"Ibu, ayo!" puteri kecilnya menarik-narik ujung bajunya agar seger keluar rumah.

Tiiin!
Tiin!

Suara klakson mobil Bu Fero melengking di depan kontrakannya. Bergegas Ami mengunci pintu. Lalu sambil berlari menggendong Amira, masuk ke dalam mobil yang akan membawa ia dan lima orang temannya bertugas hari ini.

"Amira, nanti di sana jangan rewel ya. Duduknya dekat Ibu saja."

"Ote." Amira mengacungkan jari  kelingkingnya.

"Ha ha ha ..." Ami dan lima orang temannya terbahak melihat kelakuan Amira yang selalu menggemaskan.

"Kalau bilang 'OKE' pakai jari jempol, Miraa!" ledek Kamal.

"Ish, apa cih Om? Tita dak temen tauuu!"

"Ha ha ha ...." lagi-lagi mereka tertawa. Gadis kecil itu keheranan melihat ibu dan teman-teman ibunya ikut menertawakannya.

Perjalanan hanya memakan waktu dua puluh menit. Kini, mereka sudah sampai di sebuah gedung tinggi, tempat acara pernikahan berlangsung. Satu per satu dari mereka turun, sambil membawa aneka menu hidangan yang akan disajikan. Berikut peralatan makannya. Kamal, Sarwo, dan Komang yang mengangkat barang yang berat masuk ke dalam ruangan tempat acara pesta berlangsung.

"Acaranya jam berapa sih?" tanya Ami pada Retno.

"Jam sepuluh akadnya. Resepsi dari jam sebelas sampai jam satu, Mbak."

"Oh, bagus sekali dekorasinya," puji Ami takjub memandang ruangan yang disulap bagai kerajaan negeri dongeng.

"Yang menikah model, Mbak. Sering wara-wiri di TV, nanti juga pasti tamu undangannya ada artis."

"Oh, pantas saja bagus sekali. Kita harus bagus pelayanannya, No. Biar tamu-tamunya ga kompalain."

"Betul sekali, Mbak."

"Lho, Amira mana?" Ami kaget, saat tak mendapati Amira di dekatnya. Belum lama masih saling berpegangan.

"Ibu ... cini!" teriak Amira yang sudah berada di atas pelaminan. Gadis kecil itu duduk dengan manisnya di atas sana.

"Ya Allah, Nak. Jangan!" Ami berlari ikut naik ke atas pelaminan, menjemput anaknya. Ia tidak ingin Amira membuat kesalahan dengan merusak dekorasi pelaminan yang begitu banyak bertabur bunga mawar putih.

Puk!
Puk!

"Cini dudut, Ibuu!" Amira menarik keras tangan ibunya, hingga Ami terduduk di sana.

"Mbak, saya foto ya! Ciis ...." Retno pun mengabadikan foto ibu dan anak yang berada di atas pelaminan.

Sedikit memaksa, Ami berhasil menggendong turun Amira, lalu di bawa ke ruang belakang. Amira dibuatkan susu sambil ia nyalakan film kartun anak-anak dari ponselnya. Gadis kecil itu menurut, tiduran dengan tenang sambil menyusu dan menonton kartun, tak lupa boneka beruang yang hampir lepas sebelah matanya itu, selalu menemaninya ke mana pun ia pergi.

Ami pun melaksanakan tugasnya yang lain, hingga tak terasa waktu acara semakin dekat. Para tamu dan saudara dari keluarga dua belah pihak sudah mulai berdatangan. Jangan tanyakan wartawan, karena belasan awak media sudah bersiap meliput acara pernikahan. Menu prasmanan pun semua sudah siap, masing-masing yang bertugas menjaga stand makanan juga sudah siap melayani.

Ami bertugas menjaga stand siomay, sedangkan Retno menjaga stand baso. Fitri bertugas menjaga aneka hidangan lauk berat, sedangkan yang lelaki, wara-wiri memastikan lauk cukup, dan menambahkannya jika ada lauk yang habis.

"Cantiknya," puji Ami tak berkedip saat melihat pengantin wanita yang baru saja masuk. Tubuhnya tinggi, padat, bermata bulat,berkulit putih dan sangat sempurna sebagai wanita.

"Ami, Mira tidak ada di ruang belakang. Padahal aku tinggal ke toilet sebentar," ujar Siska dengan wajah khawatir.

"Ya Allah, mana orang sudah ramai." Seketika wajahnya pucat. Dengan kaki gemetar dan dada berdebar, Ami mencari keberadaan anaknya di area gedung. Kamal dan Komang juga ikut membantu mencari Amira. Namun, belum juga ditemukan. Bayangan anaknya diculik, membuat kakinya tak bertulang.

Iring-iringan pengantin lelaki dan keluarganya akhirnya pun memasuki ruangan. Tinggi dan tampan, serta sedikit brewokan. Sangat cocok bersanding dengan seorang model.

"Papa ya ...." tangan mungil Amira  menarik celana pengantin pria, hingga langkah pria itu berhenti dan ia pun menunduk, melihat gadis cantik di bawahnya.

"Hallo, cantik. Mana ibu kamu?"

"Kelja, Pa."

"He he he ... bukan Papa, tapi Om."

"Ayo!" sang mama menarik tangan anak lelakinya dengan tak sabar, karena acara akad akan berlangsung lima belas menit lagi.

"Siapa nama kamu, Cantik?"

"Amila, Om."

"Amira! Ya Allah, maafkan anak saya, Tuan!" Ami menarik Amira menjauh dari pengantin laki-laki. Ia menunduk malu, karena menjadi pusat perhatian tamu yang ada di dekatnya.

"Permisi," pamitnya tanpa berani memaikkan wajahnya.

"Hei! Kamu tunggu!"

"I-iya, Tuan." Ami berbalik menghadap lelaki yang baru saja menahan langkahnya. Masih menatap sepatu bagus yang dikenakan pria itu.

"Siapa nama anak kamu?"

"Amira, Tuan."

"Nama kamu?"

"Ami."

"Ya Allah, ini benar kamu Mbak Ami, saya Emir. Sini lihat saya! Masih ingat saya'kan?"

****

****

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Papa Untuk Amira (Tersedia Versi Ebook Di Google Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang