Mereka bilang saya mirip Wafa, keyboardis 6PM yang terkenal ajaib di kampus (bahkan mungkin di luar kampus). Mereka yang saya maksud adalah anggota 6PM, yang merangkap sebagai penghuni bangunan kost laki-laki di seberang kost saya.
Dari kalimat tersebut saja, saya masih kebingungan, di bagian mana kemiripan saya dan Wafa? Saya, tak lebih hanya seorang Kalana Gistara, mahasiswi psikologi yang tidak aktif-aktif amat baik di kelas maupun di kegiatan kampus lainnya.
Sedangkan Wafa, saya yakin tidak ada yang tidak mengenal dia di kampus. Meskipun sibuk dengan kegiatan band-nya, tidak pernah sekalipun nama Wafa absen di kelas maupun di lembar tugas. Dia orang yang paling tidak macam-macam. Hampir tidak pernah saya menemukan komentar buruk orang-orang terhadap Wafa. Sebagai teman sekelasnya, hanya itu yang saya tahu.
Lagipula, saya baru satu bulan pindah ke kost-an yang ternyata, tetanggaan dengan anak-anak 6PM. Saya kira, saat Wafa merekomendasikan kost murah dan nyaman dekat kost-annya adalah kalimat sebenarnya dari 'tak jauh dari kost-annya'. Bukan justru ngekost di tempat kost yang sama dengannya.
Ya memang bangunannya terpisah, sih. Tapi tetap masuk dari gerbang yang sama. Apa bedanya? Kost tempat saya tinggal terdiri dari dua bangunan yang saling berhadapan. Bangunan di sebelah kiri khusus perempuan yang hanya terdiri dari 4 kamar kost. Sedangkan bangunan sebelah kanan merupakan bangunan khusus penghuni laki-laki, yang terdiri dari 6 kamar. Dua kamar di antaranya masih kosong, ngomong-ngomong.
Dalam kurun satu bulan, baru tiga kali saya berkumpul dengan semua penghuni kost. Itupun saat kerja bakti membersihkan kost-an tiap Minggu pagi.
Satu-satunya yang saya kenal hanya Wafa, dan satu-satunya yang kenal saya di sini (selain ibu-bapak pemilik kost) hanya Dede. Dede menghuni kamar lantai dua, tepat di sebelah kamar saya. Kamarnya selalu berisik, entah oleh teriakan saat main game sampai pagi, genjrengan gitar, atau nyanyian-nyanyiannya yang bisa dibilang bagus tidak, fals juga tidak.
Banyak-banyak sabar sajalah, saya.
Terutama saat menghadapi Minggu pagi ke-4 saya ikut kerja bakti. Hukumnya wajib, katanya. Ada di peraturan nomor 2 atau 3 saya lupa.
Sebelum matahari terbit, keributan di luar membangunkan saya dari malas-malasan. Demi Tuhan, saya hanya punya waktu bermalas-malasan sampai jam 8 sebelum berangkat kerja.
"Cewek! Lo bangun belum?!"
Nafas panjang dan keras saya keluarkan sebelum membuka pintu. Terkejut saya melihat kepalan tangan melayang di udara, nyaris mengetuk kepala saya kalau refleks saya tidak bagus untuk menghindar.
Cengiran Dede membuat rasa canggung saya padanya berkurang. Pasti sulit bagi saya berbaur dengan penghuni lama kalau-kalau penghuninya bukan tipe orang seperti Dede.
Oh! Dan Andini. Perempuan terlucu yang pernah saya temui. Serius. Pipinya gembul tapi merona. Rambutnya lurus sependek bahu dan poni jatuh sedikit di atas alis. Sangat berbeda dengan Dede yang memiliki rahang tegas, matanya tajam, dan rambut bob kepanjangannya yang tidak pernah rapi.
"Aduuuuhh! Perawan-perawan ini kemana aja neng. Lama bener turunnya."
"Nang neng nang neng. Kalem aja sih, matahari aja belum bangun." protes Dede menimpali sindiran laki-laki berambut kuaci. Januar, namanya.
"Din, nyapu halaman belakang, sana!" Nah kali ini, laki-laki yang suka dipanggil Daf Daf (saya belum mencaritahu nama aslinya, lupa) memerintah Andini yang menjawab dengan anggukan malas.
Hanya saya yang belum tahu harus mengerjakan bagian apa. Saya bahkan tidak memegang peralatan apapun.
"Cabutin rumput ajalah gue," Wafa tiba-tiba berdiri lantas meregangkan pinggangnya ke kanan-kiri-depan-belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Flowing Wind
Romance"Saya melihat senyumnya merekah selagi dia merentangkan kedua tangan di balik keyboard kesayangannya. Begitu cerah dan istimewa. Dari bawah panggung, di antara ratusan manusia yang berdiri menyaksikan kesempurnaannya, saya merasakan jarak yang semak...