Satu kelompok lagi dengan Wafa dan orang-orang yang hanya memanfaatkannya adalah satu dari sekian kesialan yang saya terima. Saya dan Wafa telah melupakan tragedi kelompok UAS filsafat. Tetapi orang-orang yang waktu itu menyaksikan betapa menyebalkannya sikap saya kepada Wafa, mungkin tidak melupakannya. Mereka mungkin masih tidak menyukai saya berada dalam satu kelompok yang sama.
Saya datang agak terlambat dari waktu janjian kami. Bimo, yang merupakan wakil ketua himpunan meminta kami sekalian saja kerja kelompok di ruangannya. Tapi saat saya tiba, ruangan itu ternyata dipenuhi pemiliknya, sampai akhirnya saya hanya bisa menunggu di teras masjid kampus. Saya menghubungi Bimo beberapa kali, mengirim pesan di grup kelompok, di roomchat pribadi, tetapi tidak ada balasan dari siapapun.
Wafa juga tidak bisa dihubungi dari pagi. Kata Janu, dia sudah keluar dari jam 5 karena ada urusan. Satu-dua jam saya masih bisa menunggu, menggarap sedikit-sedikit laporan yang masih bisa saya kerjakan. Karena laporan inti hasil interview narasumber semuanya ada di tangan Wafa dan Bimo. Tetapi hingga matahari sudah lebih condong ke barat, yang saya terima hanya sebuah pesan dari Bimo di grup, bahwa dia tidak bisa ikut kerja kelompok.
Saya hanya menertawainya setelah membaca pesan seseorang yang katanya seorang wakil ketua sebuah organisasi besar, justru tidak bertanggungjawanb atas kewajiban pribadinya.
Entah apa yang saya lakukan waktu itu. Pikiran saya berkabut. Saya segera membereskan semua barang-barang dan pergi ke ruangan hima di mana Bimo mungkin berada. Urat malu saya tertutupi emosi yang benar-benar tidak terbendung.
Saya menemui Bimo. Laki-laki itu tengah duduk cukup santai di sofa bersama teman-temannya.
Bimo tampak terkejut melihat saya merangsak masuk tanpa izin. Kertas-kertas berisi ringkasan laporan yang saya kerjakan semalaman, referensi materi yang saya cari setiap pulang kerja, saya lempar pada Bimo tanpa berkata apa-apa.Dia bangkit. Kepalan tangannya melayang di udara karena dihadang salah satu temannya. “Anjing! Apa-apaan sih, lo?”
“Gua keluar dari kelompok!” ucap saya sebelum pergi meninggalkan ruangan.
“Bangsat! Seenaknya lo gitu? Lo kaya gini Cuma karena gua ngebatalin janji? Hah?” teriaknya.
Saya yang sudah berada di depan pintu, berbalik dan menatapnya tanpa menyembunyikan amarah sama sekali. “Cuma? Kata lo, Cuma?”
Saya berjalan sedikit mendekat ke arah Bimo. “Gue datang dari pagi, sesuai arahan lo. Gue nunggu kalian ngasih kabar—”
“Gak ada yang nyuruh lo nunggu.”
Tawa saya kali itu terasa sangat mencekat. Pandangan orang-orang di ruangan ini sangat menakutkan, tetapi entah keberanian dari mana saya mampu bertindak sejauh ini. “Bukan Cuma lo yang sibuk dan punya urusan penting. Benerin dulu rasa tanggungjawab atas kewajiban pribadi lo baru jadi pemimpin, Bim.”
“Gua kan udah ngabarin!”
“Ngabarin setelah lo telat 6 jam dari waktu janji? Wow. Itu namanya tanggungjawab?”
Saya tahu Bimo mungkin hampir ingin menelan saya hidup-hidup. Tepat ketika dia hendak membuka mulutnya, Nanda, anggota lain di kelompok saya dan juga salah satu pengurus himpunan, tiba-tiba masuk dan memandang saya dengan polosnya.
“Loh, Kalana kenapa di sini? Bukannya kerkomnya gak jadi?”
Emosi saya tidak bisa dibiarkan tumpah di sini. Tanpa berkata apa-apa lagi, saya keluar ruangan dengan cepat. Mengabaikan panggilan Nanda dan umpatan Bimo di belakang.
Benar, hampir 6 jam saya menunggu hanya untuk mendapatkan itu. Dan saya sadari, jauh di dalam diri saya menyalahkan Wafa. Orang yang membuat saya untuk sekelompok dengan mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Flowing Wind
Romance"Saya melihat senyumnya merekah selagi dia merentangkan kedua tangan di balik keyboard kesayangannya. Begitu cerah dan istimewa. Dari bawah panggung, di antara ratusan manusia yang berdiri menyaksikan kesempurnaannya, saya merasakan jarak yang semak...