Kalian ingat di cerita saya sebelumnya, Wafa bertanya apakah nomornya masih saya blokir? Entah keberanian dari mana, saya tiba-tiba ingin menceritakannya. Saya tidak pernah mengatakan alasan sebenarnya pada Wafa. Jika dia kebetulan membaca ini, semoga saja dia tidak menertawakan betapa kekanakannya saya saat itu.
Hari-hari setelah Wafa berpacaran dengan Dita, saya lalui begitu-begitu saja. Saya pikir akan sulit menghindar dan semacamnya. Ternyata, tanpa perlu berusaha melangkah mundur, jarak saya dan Wafa sudah membentang secara alami.
Wafa sesekali masih bertanya apakah saya ada kelas pagi atau tidak, masih di kampus atau sudah pulang, bawa payung atau tidak, naik ojol atau angkot, atau menyuruh saya ke kantin karena dia sudah memesankan makan siang.
Selama satu semester saya nyaris tidak pernah menghubunginya duluan. Selain malas, saya hanya takut kalau-kalau saat saya mengiriminya pesan, ternyata ponselnya sedang dipegang Mbak Pacar. Saya enggan terlibat dengan hal yang tidak-tidak.
Saya sepenuhnya menyadari perubahan sikap saya pada Wafa terlihat sangat kentara. Bagi orang sepeka Wafa, saya yakin dia merasakannya. Tapi Wafa adalah orang yang akan selalu memberimu ruang saat dia merasa kita membutuhkan kesendirian. Ketika saya terlihat marah, Wafa tidak pernah bertanya kenapa. Dia selalu seperti itu. Dia hanya akan berada di sana, menemani sampai saya tidak tahan untuk tidak memuntahkan semua kekesalan.
Atau ketika saya tidak membalas pesannya selama berhari-hari, Wafa tidak bertanya apa yang terjadi pada saya. Dia hanya mengatakan akan memberi saya waktu sampai saya mau membalas lagi pesannya. Setelah saya kembali, Wafa akan mendengarkan saya berjam-jam tanpa menunjukkan wajah kebosanan.
Wafa adalah yang akan tersenyum paling bahagia saat berhasil membuat lelucon yang bisa membuat orang di sekitarnya tertawa. Wafa adalah angin tenang yang menerbangkan segala ketidaktentraman tanpa merusak apa yang dilaluinya.
Terkadang saya sulit menerima bahwa keberadaan Wafa menjadi sebegitu ajaibnya di hidup saya. Sulit mengakui bahwa dia adalah teman yang penting di hidup saya. Karena saya sendiri meragukan eksistensi saya di hidupnya seperti apa.
Maka ketika saya memilih menjaga jarak, hanya saya yang tersiksa. Hanya saya yang menangis saat menyesali keputusan untuk menjauh. Ketika kami mulai terlalu canggung untuk duduk sebelahan di kelas, saat itulah saya menyadari betapa rumitnya jika ingin kembali membangun apa yang telah diruntuhkan tanpa pikir panjang.
Wafa terlihat baik-baik saja. Masih tersenyum dengan mudah. Masih sibuk dengan berbagai kegiatan. Masih langgeng dengan perempuannya.
Hanya saya yang berdiri di belakang sendirian. Memandangi punggungnya yang bahkan untuk satu kali pun, tidak pernah saya berani menyandarkan diri di sana.
Semuanya selesai. Saya pikir, pertemanan saya dengan Wafa telah menguap entah kemana. Dan saya menjadi semakin marah pada diri saya yang telah bertindak bodoh.
Tatapan kecewa yang Wafa lemparkan pada saya siang itu, menyadarkan bahwa mungkin saya telah melebihi batas pemahaman laki-laki itu. Saya mungkin telah menyakitinya tanpa saya tahu.
"Tiba-tiba? Kenapa?" Wafa bertanya dengan suara rendah, tidak lembut, lebih terdengar tajam. Satu kelas menatap saya seakan mereka siap menerkam saya hidup-hidup ketika dengan lantangnya, saya menolak satu kelompok bersama Wafa untuk tugas akhir semester salah satu mata kuliah.
Ketua kelas memandang saya dengan tatapan seakan saya tidak punya hak menolak. "Tugasnya mepet dan gua sibuk. Gak ada waktu lagi buat ngatur ulang kelompok. Lagi pula sebelumnya kalian sendiri kan yang minta dibuatin kelompok? Kalau masih pilih-pilih, kenapa gak milih sendiri aja dari awal?"
Saya menelan saliva susah payah. Kepala saya tidak bisa menunduk, tapi nyali saya sudah terkubur entah sedalam apa. Tidak ada percakapan atau suara yang menimpali. Yang ada hanya bunyi kursi-kursi yang digeser, hentakan sepatu di lantai yang bergegas keluar, dan desas-desus yang tidak terlalu jelas di telinga saya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Flowing Wind
Romantik"Saya melihat senyumnya merekah selagi dia merentangkan kedua tangan di balik keyboard kesayangannya. Begitu cerah dan istimewa. Dari bawah panggung, di antara ratusan manusia yang berdiri menyaksikan kesempurnaannya, saya merasakan jarak yang semak...