Setelah membaca bagian sebelumnya, kalian mungkin menerka bagaimana bisa kami menjadi sedekat itu padahal sebelumnya sempat kembali asing. Maka biar saya bercerita singkat, karena saya pun tidak terlalu ingat dengan detail bagaimana proses itu terjadi.
Semua terjadi begitu saja, saya pikir. Mungkin karena kami tinggal di tempat yang sama, berpapasan nyaris setiap hari, saya rasa akan sulit jika menghindar meskipun kemana-mana saya masih mengakui diri hanya sebatas teman sekelas Wafa dan tidak cukup mengenalnya.
Saya berusaha bersikap senormal mungkin. Tetapi Wafa, sebagai orang yang tidak menyadari situasi, seringkali sengaja melakukan kebiasaan-kebiasaan kami sebelumnya.
Tidak terlalu sering kami bersama, tapi selalu ada ruanh untuk saling cerita.
Setelah tinggal di kost yang sama dengan Wafa selama hampir tiga bulan, saya cukup bosan harus melakukan aktivitas pagi (re: menyiram tanaman) setiap hari sekalipun Wafa kadang membantu. Maka atas saran Wafa yang agak memaksa, saya mempertimbangkan untuk tidak mengambil kerja penuh waktu di hari Minggu.
“Minggu tuh dipake istirahat kali, Kal. Gak cukup emang kerja dari Senin sampe Sabtu? Mana sambil kuliah juga.”
“Sabtu libur, Waf.”
“Ya udah ganti aja Minggu liburnya.”
“Kenapa emang?”
“Biar liburnya barengan.”
“Kayanya gak bisa, Waf.”
“Diusahain dulu, Kal.”
“Ih, beneran susah. Harus ada yang mau tuker jam kerja.”
“Kan belum coba ditanyain, Kal.”
Dan perdebatan di atas motor Wafa perihal aku yang sebaiknya libur di hari Minggu –karena semua penghuni kost juga memilih Minggu sebagai Hari Tanpa Aktivitas— berlanjut sampai kami tiba di kost. Kalau aku tidak mengiyakan, mungkin tetap akan berlanjut sampai makan malam.
Keesokannya, Wafa mengomel lagi sepanjang perjalanan mengantar saya pulang dari tempat kerja. Bukan saya menolak libur di hari Minggu, tapi bos saya tidak menerima karena karyawan paruh waktu di sana sudah menyesuaikan jadwalnya juga. Saya juga hanya bisa masuk kerja di tempat itu setiap hari Minggu karena di hari biasa saya bekerja di tempat lain sepulang kuliah.
Semenjak itu, terkadang Wafa akan mengantar saya ke tempat kerja atau menjemput saya pulang. Padahal saya tahu, di jam saya pulang, sebenarnya adalah sela istirahat Wafa latihan bersama band-nya. Jangan bilang-bilang, ya, tapi saya tahu ini dari Daffin yang pernah menelpon tengah malam untuk menanyakan Wafa sudah kembali ke studio atau belum. Dan saat itu sebetulnya Wafa sedang makan nasi goreng di depan gang bersama saya.
Ketika saya merasa Wafa terlalu sering melakukan itu bahkan hingga mengganggu kegiatannya, rasa penasaran saya terhadap keadaan hubungan Wafa dengan pacarnya selalu muncul.Bagaimana kalau Dita tahu Wafa melakukan itu pada teman perempuannya? Semenjak kami mulai berbaikan dan nyaris lebih dekat dari sebelumnya, saya hampir tidak pernah melihat Wafa bersama Dita.
“Ngapain ngekhawatirin tu cewek? Orang udah putus.”
Saya tidak sengaja menggunting batang bunga mawar (bukan daunnya) saking merasa terkejut dengan fakta tersebut.
Kak Janu melotot dan mendaratkan pukulan ringan di lengan saya. “Biasa aja senengnya! Gak usah sampe nyiksa taneman astaga Kalanaaaaa!”
“Sejak kapan? Kok bisa?”
“Tanya sendiri aja ke orangnya.” Kak Janu memilih menyingkirkan tanaman yang saya rusak dan mengabaikan saya.
“Bang Bi?” panggil saya pada pria tinggi yang sedari tadi duduk bersila di tanah, sambil menanam bibit-bibit sukulen ke pot mini. Bian, namanya.
“Tanya sendiri, Kal.” jawabnya padahal saya belum tanya.
“Huft. Ya udah gue tanya mas Sakya aja deh.”
“Sakya mana urus gituan. Salah alamat.”
“Daffin aja kalau gitu.”
“Nah. Bener!” jawabnya, dengan posisi masih duduk membelakangi saya.
“Daffin pasti ngasih tau, kan?” saya bertanya agak ragu.
“Mungkin,” Bian mengendikkan bahu. “Mungkin dia ngasih tahu lo alasan Wafa putus sama Dita sekalian ngasih tahu Wafa juga kalau lo nanyain itu ke dia.”
“Ish. Agak bocor rupanya.”
Sejujurnya, setelah itu saya tidak mendapatkan jawaban dari Daffin saat bertanya padanya. Sekalipun saya tanya dengan hati-hati, Daffin justru malah berteriak memanggil Wafa sekaligus meneriakan pertanyaan saya. Malunya bukan main. Saya bahkan tidak tahu sejak kapan mulai seakrab ini dengan teman-teman kost sampai bisa leluasa untuk menjahili.
Wafa yang hanya merespon dengan tawa, sebetulnya meninggalkan rasa kecewa bagi saya. Kenapa, kok, Wafa tidak pernah bercerita perihal itu?
Saya tahu tidak semua perlu kami beritahukan pada satu sama lain, tetapi kenapa saya harus tahu kenyataan itu dari orang lain? Kenapa hanya saya yang tidak tahu?
“Gue takut lo kesel lagi kalau gue cerita soal Dita.”
Begitu jawabannya. Baru disampaikan beberapa hari setelah Wafa mendengar pertanyaan saya yang disampaikan melalui si mulut bocor, Daffin.
“Kenapa gue harus kesel? Kalau kaya gini justru lebih gak enak, Waf. Pas sebelum-sebelumnya gue nyuruh lo balik sama Dita, terus lo iyain, artinya lo bohong? Pas lo bilang gak anterin Dita karena lo bangun telat, lo juga bohong?”
“Sorry…”
Saya menoleh, melihat Wafa yang hanya duduk di atas ayunan tanpa menggerakannya.
“Gue gak akan tanya alasan kalian selesai. Gue cuma khawatir pas lo ngerasa gak baik-baik aja, gue gak tahu itu.”
“Selagi lo gak diemin atau jauhin gue lagi, gue bakal baik-baik aja, Kal.”
Saya tertegun. Seperti ada yang baru saja menepuk dada saya hingga sesak.
“Dari awal, emang Dita sama gue udah gak cocok. Kita kesulitan buat saling nerima satu sama lain. Mungkin ini jauh lebih sulit juga buat dia.”
“Are you okay now?”
Wafa mengangguk pelan, menatap saya yakin dengan senyum tipisnya. “Gue kangen deh, ditanya are you okay sama lo. Parah banget berapa bulan lo gak ngelakuin itu, Kal?”
Saya hanya membalasnya dengan tersenyum, setengah senang karena ternyata saya juga dirindukan, setengah lagi merasa bersalah.
Tetapi dari anggukan yakinnya bahwa dia sudah baik-baik saja, sebenarnya sayalah yang tidak memercayai itu. Matanya bersedih, saya menyaksikannya sepanjang dia mengatakan bahwa mereka berdua tidak sejalan, jadi mau diapakan lagi selain diselesaikan.
Saya memahami kesedihannya.
Yang sedang Wafa rasakan kepada Dita, sama seperti saya kepadanya. Bedanya, saya tidak punya alasan untuk menyelesaikan apapun antara kami. Karena kenyataannya, memang tidak ada apapun yang pernah kami mulai selain pertemanan.
•••
“Kal...”
"Hm?"
“Sorry kalau gue harus nanyain ini. But I want to know something.”
Satu anggukan ragu dari saya, untuk meyakinkan Wafa bahwa tidak apa-apa kalau mau tanya. Apapun pertanyaannya. Walaupun kemudian saya sampai memakan satu sendok penuh eskrim untuk menutupi kegugupan yang sebenarnya.
“Waktu itu… lo marah kenapa?”
Sial. Saya mematung sejenak.
“Gini Kal… gue udah coba mikirin ini. Ngulang-ngulang kejadian sebelumnya, takut-takut gue bikin lo sakit hati tanpa sadar. Tapi gue gak nemu jawabannya. Gue kira sebelumnya kita baik-baik aja. Setelah festival itu… waktu lo tiba-tiba balik padahal penampilan gue belum selesai… ada apa kal? Apa terjadi sesuatu sama lo yang gak gue tahu?”
Wafa di hadapan saya terlihat sabar menunggu jawaban. Mau berapa lamapun atau berapa kalipun saya menghadapi situasi ini, sulit untuk biasa-biasa saja menerima cara Wafa melihat lawan bicara.
“Kalau gak mau jawab sekarang gak apa-apa kok. Makan lagi eskrimnya. Mau nambah, gak? Gue pesenin, ya?”
“Gue takut…” gumam saya. Entah kenapa eskrim di hadapan saya tiba-tiba menjadi lebih menarik untuk diaduk daripada masuk mulut.
“Hmm? Kenapa, Kal?”
“Gue takut Waf… gue cuma khawatir,” tenggorokan saya terasa kering. Apakah saya perlu mengatakan itu? Bagaimana pandangan Wafa kalau dia tahu saya tidak ingin kehilangannya setelah dia punya perempuan lain? Pasti terdengar sangat egois.
“Apa yang bikin lo takut?”
“Lo…”
Wafa menaikkan kedua alisnya. Matanya masih mencari milik saya, seakan berusaha mencari lebih jauh jawabannya, lebih jujur dan jelas dari apa yang saya katakan.
Dibanding bicara sambil membalas tatapan Wafa, saya memilih memandangi eskrim yang mulai cair. Saya ingin jujur. Wafa juga bukan orang yang akan langsung marah atau menunjukkan ketidaknyamanannya. Wafa adalah orang yang paling punya kendali diri yang baik. Dia bukan seseorang yang mudah goyah hanya dengan menerima satu kejujuran yang tidak sesuai harapannya.
Tetapi yang saya takutkan, jika saya berkata jujur, saya yang tidak sanggup menghadap Wafa lagi. Perasaan saya sendirilah yang terasa menakutkan.
“Kal…”
“Setelah ibu gak ada, gue terbiasa jadi satu-satunya perempuan di hidup bapak. Dari dulu… guelah yang jadi tempat pulang bapak. Sampe akhirnya gue dewasa dan bapak menikah lagi, gue sadar ternyata gue jadi prioritas karena kebetulan jadi satu-satunya. Begitu ada orang baru yang masuk ke kehidupan bapak, gue bukan lagi yang bapak cari kalau pulang kerja. Gue bukan lagi yang bapak anter kemana-mana. Bapak selalu bilang, Ana berangkat sekolah sendiri ya, bapak mau anter ibu ke pasar pagi. Dan begitu seterusnya… sampe akhirnya gue gak bisa tinggal sama mereka. Gue gak suka bapak yang berubah. Karena waktu sama ibu, bapak gak begitu. Gue gak suka, waktu ada perempuan asing dan anaknya yang ngerebut bapak. Sedangkan gue cuma punya bapak.”
Saya beranikan diri mengangkat kepala untuk melihat Wafa. Niatnya hanya sekilas, tapi begitu mata kami bertemu, rasa sesak itu datang lagi. Mata saya mengerjap menahan sesuatu yang nyaris jatuh.
“Gue tahu ini egois dan kekanakan banget. Gue tahu gue gak punya hak untuk ngerasain—”
Satu tetes air lolos sudah dari mata saya, menghentikan apapun yang ingin saya katakan. Dengan kepala menunduk karena malu, saya pun berharap Wafa tidak melihat sisi saya yang begini. Yang mengemis ingin menjadi prioritas, yang hanya mementingkan diri sendiri.
Tidak ada balasan dari Wafa. Sedangkan saya masih meneteskan airmata dalam hening, beradu dengan alunan lagu yang menggema di seluruh ruangan dan suara-suara pelanggan lain.
Ketika lagu berakhir, di antara beberapa detik hening sebelum berganti ke lagu yang lain, kedua tangan Wafa mendarat di atas tangan kiri saya. Lantas ia mengucapkan kata-kata yang nyaris meluruhkan logika saya untuk tetap mengendalikan degup di dalam sini, dan perasaan yang mendesak keluar dari batas batas aman.
“I’m glad you’re back, Kal. I don’t want to lose you anymore. You know it sucks when you’re too far away for me to reach.”•••
Yakali gak lemah kalo ngobrol diliatin gini ㅠㅠ
KAMU SEDANG MEMBACA
Like a Flowing Wind
Romansa"Saya melihat senyumnya merekah selagi dia merentangkan kedua tangan di balik keyboard kesayangannya. Begitu cerah dan istimewa. Dari bawah panggung, di antara ratusan manusia yang berdiri menyaksikan kesempurnaannya, saya merasakan jarak yang semak...