Kuliah di Kota Besar

15.2K 204 16
                                    

Rumah nyonya Rafsan, begitu rame pagi itu. Sanak famili berkumpul semua disana untuk syukuran anaknya yaitu, Aku yang mau berangkat kuliah.
Segala puja dan puji syukur kami panjatkan atas keberhasilan ku, Gemuruh ( Guruh ) masuk sebuah PTN di kota besar.

"Guruh, udah dicek ulang belum semuanya, nak. Jangan sampe ada yang ketinggalan. Tiket pesawat, dompet, surat surat penting jangan sampai ada yang lupa sayang" begitu kata mamaku mengingatkan ku

"Iya maaaa....sudah semua" kataku

"Firda, ambilin sepatu Abang cepetan..." Perintah ku ke adikku.

"Yang mana kak..."

"Bawa aja dua duanya, Abang mau bawa"

"Haduhhh...bukanya kemaren diberesin. Sekarang sibuk" cerewet Ibuku.

"Pesawat jam berapa, ruh" tanya pakde yang duduk memperhatikanku yang sibuk.

"Jam 08.15" pakde

"Hahhh....apa gak telat nih"seru pakde ku yang sudah siap dengan kunci mobil ditangan.

"Kamu juga, baru nanya jam berapa berangkat. Dari tadi ngapain aja"

"Lah kan baru datang mba"

"Udah udah...ayo berangkat" kataku sudah siap. Aku gak mau mendengar perdebatan saat keberangkatanku.

Dengan sedikit bergegas terburu buru kami keluar dari rumah.
Didalam mobil yang dibawa Badai, pakdeku memulai perbincangan mencairkan suasana.

"Ruh, kostmu jauh gak dari kampusmu" Pakde Badai berbicara.

"Belum taulah pakde, kan baru mau nyari sampai disana"

"Lahh gimana sih kamu, Ruh? Udah mau kuliah baru mau nyari tempat tinggal. Terus sampai disana, kau mau kemana, kalau belum ada yang dituju"

"Ehhh Badai, kamu gak usah bikin cemas orang dah. Guruh sudah tau apa yang akan dilakukan" Ibuku, Ny. Rafsan.

"Mba, aku iki khawatir tok sama Guruh. Kalian kan gak pernah mau mebicarakan apa apa sama saya. Dari dulu.....seakan kami ini bukan keluarga"

"Udaaahh...udahh pakde, Maaa...udah. Pakde gak usah khawatir. Sampai disana ada yang jemput kok, teman aku. Mereka sudah duluan disana. Kami tinggal sementara di tempat kawannya. Enggak usah khawatir pakde"

"Tuuuh dengar...."

"Iya sudah kalau sudah aman soal tempat tinggal. Pakde khawatir aja, kan di daerah orang lain." Pakde menjalankan mobilnya sambil tangan kirinya merogoh kantung celananya. "Ini ada sedikit buat bekalmu, ruh. Pakde gak bisa kasih lebih ya sayang" Badai memberikan amplop ke aku.

"Terimakasih pakde"senyum ku.

"Sama sama sayang. Kamu harus rajin belajarnya, sebisa mungkin pakde dan budemu akan bantu sampai kamu tamat kuliah"

"Iya pakde. Doakan saja pakde. Guruh akan bikin lebih cepat dari jadwal kelulusan"

"Udah seharusnya Badai. Kalau Ayahnya Guruh masih hidup, ungkin kami bisa."

"Mamaaaa....udah dah" cemberutku.

"Bagus itu, 3,5 tahun kalau bisa"pakde tak menggubris cerewet mamaku.

"Hahahaha...Guruh usahakan pakde. Titip mama ya"

"Pasti kami jagain mamamu yang cerewet itu"

"Cerewt cerwet juga hasilnya semua bagus, Badai"

Ibuku, Ny. Rafsan sudah menjanda 2 tahun yang lalu, usia mamaku  masih tergolong muda 40 tahun, cantik dan punya usaha kecil kecilan tambahan dari hasil sawah dan ladang yang kami sewakan.
Dari hasil usaha dan sewa tanah itulah kami bisa hidup dan sekarang aku kuliah.

Ayah Tiriku Itu Adalah Bekas PacarkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang