Mood.

7 0 0
                                    

Anak baru itu duduk di sofa kulit sintetis berwarna cokelat gelap. Di depannya terdapat meja kaca setinggi lutut dengan pajangan bunga artifisial yang berdebu. Mungkin pajangan itu hanya pajangan yang tidak dianggap. Kalau di rumahku, sih, banyak ornamen yang ga berdebu. Bi Griselle sangat detil dalam menghilangkan debu di setiap sudut. Bu Tika, guru yang sangat menyayangiku, katanya, datang membawa tab dan duduk di sofa single. Aku ada di ujung dari sofa yang sama bersama anak baru itu.

Bu Tika membuang nafas beratnya. "Kenapa lagi kamu, Teguh Darmawan?"

"Tanya sama anak baru itu, bu. Saya hanya membela apa yang saya ingin bela."

"Bela Apaan? Kamu nyontek!" Jawab anak baru itu

"Ya kertasku diambil kan? Kalau kertasku diambil ya aku balas aja dengan mengambil kertasmu juga. Salah?"

"Bukan begitu dong konsep membela, Teguh." Jawab bu Tika. "Kamu udah berapa kali dipanggil ke sini? Mamah kamu udah berapa kali juga dipanggil ke sini?"

"Hmmm tahun ini baru lima kali si..."

"... Gausah di jawab, ini bukan pertanyaan yang harusnya kamu jawab!" Potong Bu Tika.

Aku terdiam, Bu Tika yang aku kenal, jika sudah berbicara seperti itu. Lebih baik aku diam, malas mendengar ceramah Bu Tika kalau aku melanjutkannya.

"Kamu saya skors, ya." Titah Bu Tika menatapku.

"Yah, Bu. Saya aja baru bulan lalu di skors. Bosen Bu di rumah." Jawabku memelas

"Kalau gak mau di skors, tolong yang seperti ini tidak diulangi lagi."

"Ba..."

"...dan satu lagi, kamu buat grup belajar dengan... Siapa nama kamu, Nak?"

"Dinda, Bu. Saya gak mau punya grup belajar yang hobinya nyontek seperti dia, Bu." Jawab anak baru itu

"Tolong jangan membantah! Saya lakukan ini untuk membentuk etika kalian!"

"Salah saya di mana bu? Saya hanya tidak suka orang lain menyontek!"

"Dengan berdiri dan mengambil kertas jawaban ketika ujian berlangsung, gitu?" Tanya Bu Tika.

Anak baru itu terdiam.

"Yasudah. Terhitung besok, kalian harus melaporkan apa yang kalian pelajari, dan berikan hasil laporan itu ke saya setiap pulang sekolah."

"Tapi, bu..."

"...Silakan meninggalkan ruangan ini." Potong, Bu Tika.

***

"Aku gak sudi belajar sama kamu ya!"

"Lah, siapa juga yang pengen belajar sama kamu. Sebelum ada kamu juga aku belajar sendiri. Nilaiku ga pernah ada yang merah. Pas kamu datang aja, baru pertama kalinya biologi ku nol!"

"Dengan menyontek? Dasar perusak moral bangsa!"

Pitamku saat itu naik, ku dorong anak itu ke tembok dan ku halau anak itu dengan tangan kananku, seraya menunjuk anak itu dengan telunjuk tangan kiriku.

"Aku kasih tau, Ya! Kalau aku mau, Seluruh sekolah ini bisa ku beli! Termasuk kamu di dalamnya!"

Mata anak itu terbelalak. Aku tau, anak itu berusaha untuk tetap tegar walaupun sudah dipojokkan seperti itu.

"Kalau kamu beli sekolah ini? Kenapa kamu ga bikin sekolah dari dulu? Buat apa kamu repot-repot sekolah di sini?"

"Mamah dan Papah enggan untuk membeli sekolah, katanya sudah terlalu sibuk dengan yang lain."

"Hah?!" Anak itu kaget, tangan kecilnya mendorong ku balik hingga aku terdorong beberapa langkah, dia tertawa keras. Anak baru itu menetap dekat mataku.

"Dasar anak mami!" Jawabnya, kemudian dia meninggalkanku.

***

"Gini aja kamu ga bisa? Katanya kamu belajar terus. Gimana, sih?" Tanya anak baru itu, sebal.

"Kalau aku ga bisa, harusnya kamu bisa dong ngajarin aku?"

"Kenapa harus aku yang ngajarin kamu? Ini belajar bareng?"

"Jadi kamu ga mau temen sekelas kamu ini ga menyontek lagi saat ujian?"

"IH!" Anak baru itu mendorong kursinya ke belakang. Dia berdiri dan menatapku kesal. "Jangan bawa aku nanti jadi alasanmu untuk menyontek ya! Kamunya aja yang malas belajar!"

Badannya yang mungil itu berusaha menggertakku. Aku melihatnya tertawa karena berani-beraninya dia membentakku. Anak baru itu terheran melihatku tertawa.

"Kenapa kamu tertawa?" Tanya anak baru itu.

"Kenapa memangnya? Gak boleh aku tertawa?"

"Kalau kamu seperti ini terus, mending aku pulang aja!"

"Terus belajar barengnya gimana?"

"Rubah dulu dirimu, baru aku mau lanjut belajar bareng kamu!"

"B-baik, baik, ayo lanjut belajar bareng."

"Pernah dengar kata maaf dan tolong?"

"Buat apa? Salah apa aku?" Tanyaku heran.

"Mau lanjut atau tidak?!" Gertak anak baru itu.

"Ya mau, tapi aku salah apa dan kenapa harus minta tolong?"

Anak baru itu benar-benar marah. Dia mengambil barang-barangnya yang terhampar di meja perpustakaan dan sebisanya memasukkan barang tersebut ke tasnya. Dia tidak peduli kertas-kertas yang dimasukkan dalam kondisi lecek atau tidak. Segera dia pergi beranjak menuju pintu keluar perpustakaan. Aku kebingungan entah seperti apa nantinya Bu Tika mengetahui hal ini. Bisa jadi, skors ku diberlakukan karena tidak ada laporan pelajaran bersama hari ini.

"Baik! Aku minta maaf udah jahilin kamu, tolong lanjut lagi belajar kita." Kataku saat dia memegang gagang pintu dan mendorong pintu itu agar terbuka. Anak itu diam dan melihatku dengan kesal. Dia pun menghela nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya dengan sangat berat.

Dia menghampiriku lagi seraya berkata.

"Belikan aku eskrim ya, tapi!"

"Kenapa aku harus membelikanmu eskrim?"

"Mood ku sudah hancur karenamu! Itu hukuman buatmu hari ini."


Tidak Ada Yang Menarik Di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang