Menyebalkan

3 0 0
                                    

Aku terduduk menatap jendela ruangan. Terlihat di luar jendela hanya ada langit dengan awan dua sampai tiga lembar mengapung di udara. Apakah awan itu dihitung sebagai lembaran? Gumamku. Pak Andrew menunggu kita di sudut dekat pintu kamar ruangan ini. Ruangan yang tidak pernah aku datangin seumur hidup. Wajar saja, tiap aku sakit Ibu dan Ayah selalu memanggil Dokter langganan rumah.

Dinda mulai membuka matanya, dan kaget melihat diriku menatapnya.

"Kenapa aku di sini? Bukannya kita mau ke perpustakaan?" Tanyanya.

"Mau kemana-mana tuh pikirin dulu kondisi badan. Kalau kamu sakit seperti ini siapa yang nantinya direpotkan? Untung aku gak merasa direpotkan."

"Kamu merasa direpotkan? Palingan supir kamu yang di belakang yang merasa direpotkan." Jawabnya sambil meilirik Pak Andrew yang tersenyum.

"Nama saya Andrew, Mba. Saya tidak merasa direpotkan sama sekali oleh Tuan. Saya justru besyukur karena tuan bisa mempercayakan saya membantu membawa mba ke Rumah Sakit." Jawab Pak Andrew ramah.

"Tuh! Gak ada yang direpotkan!" Jawabku sombong, kali ini aku menang melawan dia. Dia hanya terdiam sambil melihat pergelangan tangannya yang terlilit suatu gelang dengan label Ny. Dinda.

"Aku mau tanya. Kamu kenapa hari ini kok bisa lemas begitu? Biasanya aku melihat kamu sangat enerjik?" Tanyaku.

"Kamu gak perlu tau. Yang pasti aku kecapean kemarin."

"Karena?"

"KAMU GA PERLU TAU!"

"Oh yasudah." Jawabku, kemudian aku mengeluarkan secarik kertas.

"Ini biaya rumah sakit kamu, kalau kamu mau jawab. Aku yang bayar biaya kamu di sini."

"Siapa suruh kamu bawa aku ke rumah sakit? Apalagi kamarnya cuman ada aku pasiennya? Pasti biayanya mahal."

"Tidak ada yang mahal dimataku, kamu aja yang tidak sanggup membayarnya, kan?" Tanyaku enteng.

"Etikamu busuk." Jawabnya simpel, namun membuat seisi ruangan tersebut hening. Bahkan tampak wajah Pak Andrew kaget melihat seorang anak perempuan berani berkata seperti itu kepada Tuannya.

"Apakah kamu yakin semua bisa dibeli dengan uang? Apakah kamu yakin pertemananmu tulus dan bukan karena uang? Aku mau tanya, kalau kamu tiba-tiba miskin, apakah temanmu akan tetap mau berteman denganmu? Apakah kamu bisa berkelakukan seperti ini jika kamu terus-terusan merasa berada di atas angin? Ingat guh, aku salah satu yang tidak bisa kamu beli dengan uang!" Jawabnya penuh emosi, ku lihat matanya berkaca-kaca hingga beberapa tetes air matanya terjatuh di linen putih itu.

Pak Andrew segera mendekati ku dan Dinda,

"Tuan, saya rasa Mba Dinda perlu sendiri. Kita keluar dulu ya, Tuan." sembari menepuk pundakku.

Tanpa bicara aku dan Pak Andrew keluar dari Ruangan itu, tampak Dinda tidak menoleh kami dan hanya menoleh jendela yang mulai mengeluarkan warna oranye terang, menyeka wajahnya yang cukup basah karena airmatanya.

Di luar ruangan terlihat sepi, tidak ada tempat duduk karena lorong ini berisi ruangan VIP. Aku hanya menatap lorong tersebut dengan tatapan kosong. Sampai-sampai aku terkaget dipanggil oleh Pak Andrew.

"Tuan, saya rasa anda mencintai Mba Dinda."

"Kamu bicara apa?"

"Maaf Tuan, baru kali ini saya melihat tuan se-ekspresif ini dalam hidup. Saya boleh memberikan saran, Tuan?"

Aku terdiam, namun wajahku mengangguk pelan.

"Baik Tuan, jikalau Tuan memang benar mencintai Mba Dinda. Maka saran saya kejar Mba Dinda tapi dengan usaha Tuan. Jikalau Tuan tidak sanggup, maka lepaskanlah Dia. Itu saran, Tuan."

"Maksudmu aku tidak berusaha?"

"Mungkin di mata Mba Dinda, Tuan tidak berusaha."

Aku terdiam, apakah usahaku dinilai nol besar di mata Dinda? Apakah usahaku yang naik angkot dan membawanya ke Rumah Sakit dengan Ruang VIP ini dianggap nol besar? Aku tidak paham. Selama ini teman-temanku selalu tertawa bersamaku di manapun aku berada, lalu mengapa dia dengan mudah menghakimi teman-temanku? Apakah semua yang dikatakan Dinda benar adanya, atau semua yang dikatakan Dinda salah, atau keduanya?

"Pak, Saya ingin bertanya, tolong jawab dengan jujur."

"Apa itu, Tuan?" Tanya Pak Andrew.

"Apakah selama ini saya semenyebalkan itu di mata Bapak?"

Pak Andrew nampak tertegun, terkaget karena selama ini aku tidak pernah menanyakan hal ini.

"Tuan, jikalau saya boleh menjawab dengan jujur. Sebenarnya adalah Tuan belum pernah menghadapi pahitnya hidup, sebenarnya Tuan selama ini dikelilingi oleh banyak hal yang selalu mendukung Tuan. Sehingga, mungkin, tuan tidak pernah merasakan apa itu kekalahan, apa itu rasa sakit, dan apa itu kesendirian. Kalau di tarik kesimpulan apakah Tuan menyebalkan? Saya jawab iya, tapi juga tidak. "

"Apakah teman-temanku berteman hanya karena uang?"

"Saya tidak bisa menjawab itu, Tuan."

"Kenapa? Bukankah selama ini kamu selalu menemani kami?"

"Iya, saya selalu menemani Tuan bersama teman-teman Tuan hanya di masa suka, tapi tida sekalipun saya menemani Tuan di masa suah Tuan."

Mendegar jawaban itu aku terdiam.

"Pak Andrew, tolong nyalakan Mobil."

"Baik, Tuan." Jawabnya, kemudian Pak Andrew bergegas menyusuri lorong menuju tempat Parkir.

Kubuka pintu ruangan perlahan, tidak mau Dinda melihatku masuk ke dalam Ruangan. Kulihat dia masih duduk menatap jendela, Anggun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tidak Ada Yang Menarik Di SiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang