Belum sempat Abel mengirim pesan, seseorang berbadan tinggi nan besar menahan pergerakannya. mengunci mereka berdua ditengah-tengah kerumunan orang. "hai".
Abel kenal suara bariton khas itu. Ia menoleh dan mendapati "Abian....." paraunya sembari menghela nafas.
Lelah. Abel lelah dengan semua perlakuan Abian kepadanya. "you..? ahg please jaga jarak" Ia mendorong Abian dan meninggalkan tempat.
"No no.. wait, abelia"
"Apa!"
"Jangan pergi dulu, aku mau kamu"
"What the fuck are you saying? Leave me alone! Jerk!"
"Yes i am. But you love it right?"
"Not at all"
"Abel please aku cuman mau kamu, aku-"
PLAK-!
Detak jantung Abel sempat berhenti saat dengan refleks ia menampar Abian. Menyadari seseorang dihadapannya hanya diam saja membuat Rasa marah Abel tergantikan menjadi rasa bersalah.
Tangannya bergetar, memerah dan menjadi perih. Lalu ia menatap Abian, pasti pria itu lebih merasa perih di pipi kirinya, pasti pria itu marah, pasti pria itu kesal.
"Sa.. sakit ya ka.." Badan Abel melemah, memundurkan kaki berusaha menjauh.
Namun seperkian detik kemudian sebuah genggaman besar menahannya, menariknya pelan, mengelusnya, membawa telapak tangan Abel ke pipi yang sempat ia tampar. "Ini ga sakit Abel.."
Bohong, karena nyatanya Abel bisa merasakan permukaan kulit Abian yang panas.
Pria itu menuntun tangan Abel kebawah, melewati garis rahang hingga sampai di pertengahan tubuh yaitu dada "tapi ini yang sakit" ucapnya seraya merapatkan sentuhan Abel hingga terasa detakan jantung yang begitu kencang.
"Hati aku yang sakit".
Sungguh, ia kira Abian akan marah, Abel lebih berharap jika Abian marah. Sialnya Abian justru membuat Abel jatuh kedalam pelukan hangat nan nyaman.
"Kak.. kita ini cuman sebatas pernah" lirih Abel.
"Aku ga mau kita cuman sebatas, babe please"
"I'm not even yours.. stopt it, know your limit"
Abian terdiam. Posisi mereka masih saling memeluk satu satu sama lain seakan takut kehilangan.
"Aku harus gimana biar kamu mau ngedengrin penjelasan aku"
"Ga perlu penjelasan ka, semuanya udah jelas. Kamu punya Sarah, punya Danish. Jangan bikin aku jadi penjahatnya diantara kalian"
"But Abel..."
"Ka aku ga mau hubungan kita harus kaya gini, aku ga bisa benci sama kaka, aku.."
"Kamu suka kan sama aku?" Tanya Abian membuat Abel menyisihkan jarak diantaranya.
"Biar aku yang nanya. Ka Bian suka aku ga?itu pertanyaan dari delapan tahun yang lalu. Ga pernah ada jawaban, selama itu aku apa? mainan doang kan? bahkan sekarang juga aku cuman mainan ka Bian doang"
"Aku salah waktu itu, aku ga mikirin perasaan kamu. Abel.. seandainya kamu waktu itu nahan aku"
Deg
"Aku udah bilang, aku ga punya hak buat nahan ka Abian. Dan sekarang ka Abian juga ga punya hak buat masuk kedalam hidup aku lagi"
"Kamu udah nutup pintu hati?"
Abel mengangguk pelan.
"Kalo itu mau kamu it's okay, mungkin aku lancang udah seenaknya tapi ingat bel, sejauh apapun aku pergi, kalo kamu rumahnya.. aku bakal tetep pulang ke kamu"
"im not your home"
"you are my home."
Abian melepas Abel, rasanya begitu dingin saat harus merelakan posisi nyaman tadi. Tidak hanya itu, rasa dingin juga dirasakan Abel saat melihat tatapan Abian yang berubah. Bagaimana bisa pria itu berubah dengan cepat. "Aku pergi dulu" Abian meninggalkan Abel begitu saja.
Perasaan ini, perasaan yang sama berkali-kali Abel rasakan. Perasaan dimana saat ia melihat punggung Abian pergi menjauh darinya. Abel hanya takut jika ia kembali dengan Abian, ia akan ditinggal lagi. Seperti saat ini, Abian meninggalkannya lagi. Menjauh, dan menghilang.
"hoeekkk"
"Abel kamu kenapa?" Marvel menahan Abel yang nyaris tumbang.
"Aku mau pulang vel" Sahabatnya itu mengangguk, menuntun Abel untuk keluar dari tempat ramai tersebut.
"mau ke rumah sakit?"
"engga, pulang aja"
"Maaf" bisik Marvel.
"Kamu ga salah"
"Aku ngewakilin Abian, maaf kalo dia harus nyakitin kamu lagi".
