7. Saingan

15 7 2
                                    

Setelah pulang dari sekolah, Luna disibukkan dengan buku-buku tebal di hadapannya. Bahkan, gadis itu melupakan jam makan malamnya.

Luna memang sangat ambisius terhadap apapun, ia akan sangat gigih memperjuangkan hal yang diinginkannya.

Suara ketukan pintu kamar membuatnya berhenti membaca, ia bangkit dari tempat belajarnya dan berjalan membuka pintu.

Tampak seorang pria dengan tangan yang membawa sebuah plastik.

"Ngapain malem-malem kesini?" Luna menatap bingung Panca.

"Disuruh duduk dulu sama kasih minum, tamu itu raja." Panca menyodorkan plastik itu, "Ambil nih, gue tau lo pasti belum makan malem 'kan?"

Panca masuk nyelonong ke kamar Luna, ia merebahkan tubuhnya ke atas sofa panjang.

"Makan dulu, Lun. Gue beliin lo soto di depan komplek," Panca menatap Luna yang hanya terdiam menatap plastik itu.

"Kenapa diam? Lo udah nggak suka soto?"

Gadis itu menggeleng lesu, "Nggak, gue suka kok. Makasih ya,"

Panca menatapnya penuh selidik. Matanya mengarah ke meja belajar Luna yang penuh dengan buku-buku tebal.

Ia beranjak dari sofa dan berjalan menuju tempat belajar Luna. Tangannya membaca sebuah buku berjudul "Fisika".

Ah, sekarang ia paham. Pasti Luna kesulitan memahami materi dari buku ini.

"Lo pasti lagi badmood 'kan nggak paham sama isi buku ini?" Panca mendudukkan tubuhnya di kursi belajar gadis itu.

"Buku se-tebal ini, kalo lo pelajarin semuanya nggak bakal masuk ke otak," Ia membuka buku itu kehalaman tengah.

"Lo cukup pelajari dan pahami garis besar tiap hal yang dibahas, nggak perlu sampai setiap halaman lo hapalin,"

Luna menatapnya bingung, "Kalo setiap halaman itu penting gimana? Kan sama aja,"

Panca menggelengkan kepalanya. Ia menggerakkan tangannya agar Luna mendekat, lalu menjelaskan hal yang paling dasar kepada Luna.

"Gini, perumpamaannya misalkan lo mau beli jeruk. Tapi lo mau semua jeruk itu rasanya manis semua. Apa hal pertama yang lo lakuin? Pasti nyobain satu jeruk bukan? Kalo rasa jeruk yang lo cobain itu manis, lo cukup lihat ciri-ciri jeruk itu. Berwarna kuning pekat dan bau nya pasti kecium nggak asem. Sama hal nya dengan mempelajari sebuah buku, lo nggak perlu ngapalin semua halaman supaya hapal. Tapi cukup tau inti dari pembahasan tiap bab dan cukup lo pahami. Ingat, bukan dihapal tapi dipahami garis besarnya."

"Jadi? Kalo kita mau nuntasin satu buku itu nggak perlu dihapal tapi dipahami?"

Panca menggangguk mantap, "Guru juga mengajarkan begitu bukan? Fisika itu banyak rumus, lo harus tau apa yang ditanyain pasti lo juga bakalan ingat rumusnya kalau udah paham."

Luna mengangguk-anggukan kepala nya pelan. Lalu tersenyum setelah mencerna ucapan Panca.

Ia tersenyum menggoda sambil mengedipkan matanya, "Ah, Aca nya Luna emang paling bisa ngertiin. Jadi sayang deh,"

"Gue juga makin sayang sama lo," kata Panca menatap dalam netra indah itu.

Luna tertawa terbahak-bahak sambil memegang perut. Ia menyeka air mata nya yang keluar akibat terlalu banyak tertawa.

"Lo jangan baper ya gue bilang kayak gitu,"

Panca hanya menatapnya diam. Ia menghela napasnya.

"Sabar. Belum saatnya," batinnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jejak (ON-GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang