Prolog

115 59 49
                                    

Jakarta, Juli 2021.

Dunia sedang tidak baik-baik saja, virus yang bernama Covid-19 sudah tinggal dibumi selama 1 tahun lebih, di mulai dari awal 2020, kasus kematian karena Covid-19 bertambah setiap harinya, dan bulan ini adalah bulan terberat bagi umat manusia, khususnya Negara Indonesia, yang mana rumah sakit begitu penuh sehingga tidak bisa menampung semua pasien yang bergejala karena virus ini, berita kematian orang setiap harinya seperti hal biasa kini, mungkin orang yang baru bertemu dengan kita beberapa hari yang lalu terlihat sehat bugar, bisa jadi hari ini sudah dinyatakan meninggal dunia karena Covid-19.

Nyatanya vaksin yang sudah diberikan kepada sebagian pendudukpun tetap bukan jaminan kita bisa lolos dari takdir virus ini, yang bisa kita lakukan saat ini hanya bertawakal dan berserah kepada sang maha pemilik hidup, tidak lupa dengan ikhtiarnya untuk tetap menjalankan protocol kesehatan seketat mungkin dengan tetap memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menjauhi kerumunan serta membatasi mobilitas dan interaksi, agar bisa menjaga keselamatan diri kita sendiri maupun keluarga tercinta.

Aku adalah salah satu penyintas virus ini, aku sudah merasakan bagaimana menderitanya karena virus ini, dan aku termasuk yang bergejala berat sehingga harus melakukan rawat inap di Rumah Sakit, ini adalah penyakit terberat yang pernah aku alami selama ini, dimana aku harus menggunakan oksigen karena sesak, dan saturasi oksigen yang begitu rendah dibawah rata-rata, menggunakan cateter karena sudah tidak bisa bangun dari tempat tidur RS, serta menggunakan monitor jantung yang kabelnya begitu banyak melilit disekujur tubuhku, aku pikir mungkin ini akhirnya tapi bersyukur Tuhan masih memberikanku kesempatan untuk terus bernafas hingga hari ini.

Setelah melewati semua fase itu di RS, melihat berbagai berita di televisi, berita di social media tentang kematian orang-orang yang sempat kita kenal, menjadi titik balik untuk hidupku bahwa bisa saja aku menjadi bagian berita itu esok hari, ini mengingatkanku pada 1 kisah yang ingin sekali aku bagikan kepada kalian, aku takut mungkin saja aku tidak pernah sempat lagi menceritakannya dan kisah ini hanya akan ada di memoriku saja, bahkan mungkin lenyap terkubur didalam tanah bersama ragaku tanpa pernah kalian mendengarnya.

Aku tidak ingin menguburnya begitu saja karena aku ingin berbagi rasa tentang bagaimana hangatnya sebuah perasaan, menjadi panas, terbakar lalu mendingin kembali, bagaimana rasanya mekar, layu, lalu tunas kembali, mungkin saja kisah ini bisa menjadi jalan saat kamu tersesat dalam labirin kehidupan, menjadi pijakan saat kamu butuh jawaban.

****

Hari ini tepat 12 tahun aku di Jakarta, hai apa kabar kalian? Itu kalimat pertama yang ingin aku tanya kepada kamu, Tunggal dan Fabian, 2 nama tokoh yang membuat cerita ini ada, mungkin bagi beberapa orang, 12 tahun bukan waktu yang sebentar untuk sekedar mengingat setiap cerita yang sudah terlewati, namun bagiku setiap detailnya masih terlihat jelas seperti baru saja terjadi kemarin.

Jika Tunggal adalah si pesimis makan Fabian adalah si realistis, jika tunggal adalah manusia yang mengedepankan emosi maka fabian adalah manusia terbaik pengontrol diri, dan jika Tunggal adalah petir yang bergemuruh dengan suara yg riuh, maka Fabian adalah sayup angin yang kadang hanya menyapu lembut sehelai rambut, dan jika Tunggal adalah matahari yang terik maka Fabian adalah mendung berkabut yang menutup senjaku di Jakartamu.

Namaku "Niran Dilara" usiaku 30 Tahun saat ini, nama panggilanku "Ran" begitulah orang-orang terdekatku memanggilku. Kisah ini terjadi saat usiaku 18 tahun, saat aku baru saja lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), saat aku mulai belajar hidup mandiri dengan semua pengetahuan yang masih abu-abu, dan bahkan tidak mengerti bahwa kehidupan tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan.

Niran DilaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang