Chapter 13 || Aku Serius

0 1 0
                                    

“Aku ingin kamu dan aku menikah.”

Ucapan Alvan bagai petir di siang hari. Benar-benar membuat Hala sulit mempercayainya. Bagaimana tidak? Mereka baru saja bertemu setelah sebulan mereka tidak berkomunikasi. Dan sekarang, Alvan malah mengajaknya menikah seolah tengah mengajaknya membeli makanan. Benar-benar sulit dipercaya dan terkesan konyol di mata Hala.

“Jangan becanda!” ucap Hala dengan suara sedikit meninggi.

Alvan menggeleng. “Aku nggak becanda akan hal itu, Hala. Tatap mata aku, apa aku terlihat seperti sedang becanda. Kamu nggak mau, ‘kan, pacaran. Yaudah kita nikah! Apa masih kurang serius?”

“Sepertinya kamu semalam kurang tidur, jadi bawaannya ngelantur. Udah, deh. Nggak usah ngomong yang aneh-aneh. Mending kamu pulang, istirahat. Oke?”

“Tolong lihat keseriusan aku sama kamu.”

Hala mengembuskan napas kasar. Laki-laki di depannya sama keras kepalanya dengannya. Sangat sulit membuat laki-laki itu mundur. Dan berlaku seolah tidak ada apa-apa di antara mereka. Sementara Aileen sedari tadi hanya menjadi penonton drama antara keduanya, tidak berniat memisahkan atau bahkan berkomentar apapun. Menurutnya, keduanya sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalah perasaan antar mereka yang terbilang rumit itu. Satunya suka, tapi tidak mau menunjukkan. Satunya lagi baru sadar akan perasaannya. Aileen benar-benar menantikan akhir cerita cinta keduanya. Akan bersama atau tetap mempertahankan ego masing-masing?

“Mau kamu apa, sih?” ucap Hala setelah keterdiamannya yang cukup lama.

“Aku mau kamu percaya sama aku, kalau aku serius sama kamu,” jawab Alvan dengan tegas.

Hala terkekeh. “Kenapa aku harus percaya?”

Alvan menggeleng tak percaya. Hala sekarang bahkan sangat sulit diluluhkan. Dia pikir, setelah dia berhasil mendapatkan jawaban atas apa yang diinginkan oleh hatinya. Semua akan berjalan mudah untuk meyakinkan gadis itu. Nyatanya dia salah. Hala masih gadis keras kepala, yang kekeh dengan pendiriannya. Akan ada pekerjaan baru sepertinya untuk dirinya membuat Hala yakin.

“Kita cari tempat yang lain, yang lebih privat. Kita butuh bicara,” putus Alvan akhirnya.

Hala baru saja hendak menolak. Tatapan Aileen yang meminta untuk menuruti keinginan Alvan pun akhirnya memilih menyerah. Sepertinya, sahabatnya pun akan berpihak pada laki-laki itu.

****

“Jadi?” Hala bertanya tak sabaran. Sungguh, dia hanya tidak ingin jika pertahanannya akan semakin lemah. Dan membuatnya lebih mudah mengiyakan begitu saja permintaan Alvan. Bagaimana pun laki-laki itu masih menjadi salah satu kelemahannya.
“Kita menikah?”

Hala menggeleng. “Aku nggak pernah setuju.”

“Kenapa?”

“Akan terlihat lebih aneh saat aku mengiyakan permintaan kamu. Sementara aku bahkan tidak pernah mengetahui motivasi apa yang membuat kamu akhirnya mau menikahiku. Dan kita juga masih kuliah.” Hala mencoba menyuarakan apa yang ada di pikirannya sedari tadi. Sudah tidak dengan suara ketua seperti sebelumnya.

Alvan tersenyum tipis. Yang membuat Hala tertegun. Senyum yang masih teramat menjadi candu baginya. “Tanyakan apapun yang ingin kamu tanyakan. Aku akan menjawabnya.”

“Kenapa kamu tiba-tiba ingin menikah? Bukankah dulu kamu mengatakan ingin menyelesaikan kuliah dulu baru akan menikah?”

Ucapan Hala membuat Alvan tersenyum samar. Nyatanya gadis itu masih mengingat apa yang dikatakannya dulu, saat dia bercerita jika dia akan kuliah. Dulu, memang rencananya dia akan menyelesaikan S1 nya dulu baru akan menikah. Menurutnya akan lebih baik fokus, saat menyelesaikannya satu persatu daripada menjalankannya secara bersamaan. Namun, seketika semua berubah saat mendengar nasihat-nasihat dari Fauzan dan juga Dodi. Yang selalu memintanya untuk memantaskan diri dan selalu yakin jika dia bisa mengemban tanggung jawab itu.

“Semua sudah aku pikirkan dengan baik. Dulu, aku memang berencana untuk menyelesaikan pendidikanku dulu. Biar lebih fokus. Jujur, ada ketakutan jika aku tidak mengambil pergerakan sekarang untuk menikahi kamu, Hala.”

Hala mengernyi bingung. “Ketakutan? Ketakutan apa?” beo Hala.

“Aku takut, jika aku tidak melangkah maju sekarang. Ada laki-laki lain yang lebih dulu mengambil kamu dari orang tuamu. Sungguh, jika sampai itu terjadi. Aku tidak bisa membayangkan. Apa yang akan terjadi padaku nantinya.”

Hala terdiam. Hatinya benar-benar menghangat mendengar ucapan Alvan. Dia tidak menyangka, jika laki-laki di depannya bahkan sudah berpikir sejauh itu. Sementara dia bahkan akhir-akhir ini lebih santai menikmati waktunya. Dia lebih berusaha untuk mencintai dirinya sendiri.

“Lalu?” tanya Hala yang masih berusaha untuk membuat dirinya sebiasa mungkin. Dia tidak ingin terlihat begitu senang mendengarkan pengakuan Alvan. Gengsinya masih terlalu tinggi.

“Aku memenuhi kriteria suami yang kamu impikan, tidak?”

Hala mengalihkan pandangannya. Menatap orang-orang yang tengah berlalu lalang di dekat tempat festival. Sekarang, Hala dan Alvan tengah berada di warung makan.

“Kamu tahu, jika menikahiku sekarang hanya karena tidak ingin melihatku lebih dulu diambil orang lain. Tidak ada bedanya dengan kamu membeli barang yang tidak kamu butuhkan, hanya karena kamu tertarik dan tidak ingin kehabisan jadi kamu buru-buru membelinya.”

Alvan menghela napas panjang. Lagi dan lagi, gadis itu berhasil membuatnya tak berkutik. Kalau begini terus, dia tidak yakin bisa meyakinkan gadis itu jika dia serius. Melihat gadis itu seperti sedang merencanakan sesuatu untuk membuatnya mundur sebelum berjuang lebih jauh.

“Kamu dan barang itu berbeda. Jangan menganalogikan sesuatu yang sejujurnya kamu bahkan tidak tahu pasti artinya,” tandas Alvan. Kesabarannya mulai menipis.

“Menikah itu sakral, Al. Aku kurang puas saja dengan jawaban kamu.”

“Aku memutuskan ingin menikahi kamu, bahkan sudah melalui pertimbangan yang panjang tanpa kamu ketahui. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan aku hadapi. Bagaimana hidup kita setelah menikah, jika kamu mengiyakan permintaanku. Dan rumah tangga seperti apa yang aku inginkan. Aku memilih kamu, karena aku yakin jika kamu adalah yang terbaik. Kamu bisa menjadi seorang menantu, istri dan ibu yang baik buat anak-anakku nanti,” jelas Alvan dengan lembut.

“Aku tidak tahu harus menjawab apa, Al,” lirih Hala.

“Jika kamu izinkan, aku akan datang ke rumahmu. Untuk meminta izin kepada orang tuamu, untuk mengkhitabahmu.”

Deg!

Hala benar-benar kehabisan kata-kata. Laki-laki di depannya benar-benar tidak becanda dengan ucapannya. Setiap perkataannya terdengar tegas dan tulus.

“Al, jangan gegabah. Kita masih kuliah.”

“Kamu masih bisa kuliah, Al. Aku akan membiayai kamu, setelah kita menikah. Apalagi yang akan kamu katakan untuk menolakku?”

“Al?” rengek Hala.

Alvan mengalihka pandangannya. Jika Hala sudah melengkapi seperti ini, dia takut dia akan luluh. Dan mengikuti permintaan gadis itu. Untuk kali ini, dia tidak ingin kalah.

“Pikirkan lagi baik-baik, sekali saja. Aku menghargai betul niat baik kamu. Tapi, Al, aku masih terlalu takut untuk melangkah maju ke arah itu. Aku takut jika nantinya tidak bisa menjadi istri yang baik buat kamu.”

“Kamu terlalu pesimis, Hala.”

“Tapi... ” belum sampai Hala menyelesaikan ucapannya Alvan susah menyelanya lebih dulu. “Nggak ada salahnya, kamu belajar percaya sama diri kamu sendiri sekarang, Al. Aku tidak suka kamu yang terlalu pesimis.”

Bukan Hanya Soal RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang