Chapter 14 ||Cerita Hala

0 1 0
                                    

Di bawah guyuran hujan, seorang gadis dan anak kecil berusia 9 tahun itu tengah tertawa riang, keduanya berlari saling mengejar. Sementara kedua orang tuanya hanya diam tanpa kata dan mengawasi dari jauh. Hingga suara petir yang tiba-tiba membuat keduanya terkejut dan berhenti berlari. Dan memilih untuk menyudahi aksi main hujannya.
Sudah selama dua hari, Hala berada di Surabaya. Bukan tanpa alasan dia pulang. Karena nyatanya dia hendak menceritakan mengenai laki-laki yang berniat serius dengannya. Meski ada sedikit keraguan untuk menyampaikan hal itu, terlebih di saat dia masih kuliah. Yang mana sepatutnya dia fokus dengan pendidikannya. Namun logikanya berkata, jika lebih baik orang tuanya tahu hal itu. Sehingga dia juga bisa mendapatkan solusi yang tepat.

“Kalian langsung mandi ya pakai air hangat. Jangan lupa keramas sekalian. Nanti Bunda buatkan wedang jahe,” ucap Hanum pada kedua anaknya.

“Ya udah, Hala ke atas dulu ya?” pamit Hala yang langsung dibalas anggukan oleh kedua orang tuanya.
Sesampainya di kamar, Hala bergegas membersihkan dirinya. Setelahnya dia akan turun untuk bergabung dengan keluarganya. Niatnya dia akan menyampaikan niat baik Alvan. Agar tidak ada yang mengganggu pikirannya.

****

“Hala ingin bicara serius dengan Ayah sama Bunda.” Hala mencoba membuka pembicaraan.

“Bicara soal apa? Kamu ada masalah?” Hanum bertanya dengan raut wajah yang khawatir. Kepulangan putrinya yang terkesan mendadak membuat dia bertanya-tanya apa yang sebenernya terjadi. Mengingat putrinya bahkan terlihat lebih senang di kota rantau dan enggan meninggalkannya.

“Em... gimana ya? Hala bingung mau mulai dari mana. Tapi—intinya ada yang mau serius sama Hala,” ucap Hala hati-hati.

Hanum sontak memandang suaminya. Sebelum akhirnya menatap lekat putri sulungnya. Yang bahkan terbilang tidak pernah membicarakan mengenai lawan jenis. Dan sekarang? Pulang-pulang mengatakan ada yang ingin serius dengan putrinya? Membuat Hanum benar-benar terkejut bukan main.

“Siapa laki-laki itu? Apakah dia laki-laki yang bertanggung jawab?”  Gibran yang sedari tadi hanya diam, akhirnya membuka suara. Dengan tatapan yang terus tertuju pada putrinya.

“Dia bernama Alvan. Menurut Hala, dia cukup bertanggung jawab.”

“Jika Ayah sama Bunda nggak merestui kalian. Apa yang akan kamu lakukan?”

Hala mendengkus. Jika sudah seperti ini. Sesi interview pun akan segera terjadi. Mengingat ayahnya terbilang sangat tegas dan selektif mengenai dirinya.

“Kalau nggak dapat restu, ya udah. Hala nggak akan memaksa.”

“Kenapa?”

“Rida orang tua adalah rida Allah SWT. Hala benar, ‘kan?”

Gibran tersenyum. Nyatanya sang putri tumbuh menjadi seorang gadis yang paham agama, baik dan santun. Dia sangat bangga dikaruniai anak seperti Hala. Gadis itu selama hidupnya bahkan tidak pernah berkata kasar atau meninggikan suaranya padanya. Jika dia mengatakan tidak, maka Hala akan mengalah dan mengikuti perintahnya.

“Jika dia serius, biarkan dia datang ke rumah,” putus Gibran yang membuat Hala melebarkan matanya. Dia tidak salah mendengar, ‘kan? Ayahnya benar-benar ingin Alvan datang ke rumah? Sungguh, semua di luar ekspektasi Hala. Dia berekspektasi ayahnya akan mengatakan jika menolak niat baik Alvan. Dan memintanya fokus pada kuliahnya. Nyatanya, ayahnya selalu berhasil membuatnya menerka-nerka.

“Akan Hala sampaikan kepada dia, Yah. Apa ada lagi pesan untuk dia?”

Gibrang menggeleng. “Cukup dia menunjukkan batang hidungnya di depan Ayah. Selebihnya Ayah akan pikirkan setelah melihat keseriusan dia. Ayah hanya ingin yang terbaik buat kamu. Yang bertanggung jawab, tegas dan bisa menuntun kamu menjadi pribadi yang lebih baik. Membimbing kamu dengan agamanya.”

Mendengarkan ucapan Gibran membuat Hala meneteskan air matanya. Dia bangkit dari duduknya dan berhambur ke dalam pelukan sang ayah. Pelukan ternyaman yang dia punya. Hanya kepada dia, Hala benar-benar merasa terlindungi sejauh ini. Dan mungkin—saat dia memiliki suami nanti, akan ada rumah ternyaman kedua untuk dia pulang. Arghh... mengingat kata suami saja membuat hati Hala tak menentu.

“Masih aja manja, padahal udah mau dinikahin orang,” ledak Gibran yang langsung disambut dengan cubitan kecil dipinggangnya. Putrinya memang sama saja dengan istrinya, jika digoda maka cubitan akan diberikan padanya.

“Nggak usah ngomong yang aneh-aneh, Ayah.”
Gibran tergelak. “Iya iya. Ngambekan kamu.”

“Biarin!” sahut Hala cepat yang membuat kedua orang tuanya geleng-geleng kepala. Tidak percaya jika putri yang kini tengah berada di tengah mereka sudah menginjak dewasa. Karena sifat manja ya bahkan masih seperti anak SD kalau lagi manja mode on.

****

Setelah perbincangan dengan kedua orang tuanya. Dia pun mengatakan apa pesan dari ayahnya tadi ke Alvan. Setelah beberapa kali menelepon dan tidak mendapat jawaban, akhirnya dipanggilan yang ke 5, akhirnya diangkat.

“Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Ada apa ya, Hala?”

“Aku udah sampaikan niat baik kamu ke orang tuaku. Dan ayah bilang, kalau kamu serius kamu bisa menemuinya. Hanya itu yang ingin aku sampaikan. Ya sudah aku tutup telponnya. Assalamualaikum.”

“Eh... tunggu dulu!”

“Apalagi?”

“Aku belum jawab, Hala. Tapi kamu buru-buru banget mau matiin panggilannya. Em... aku akan ke rumah kamu. Kamu tenang aja, aku nggak main-main. Pasti aku datang.”

“Hm... ya sudah aku tutup. Assalamualaikum.”
Putus Hala sebelum Alvan menjawab salamnya. Sejujurnya, Hala kini deg-degan setiap berbicara dengan Alvan. Oleh karena itu, dia sengaja memberi jarak keduanya. Meski nyatanya, gagal. Laki-laki itu semakin mendekat saat dia berniat menjauh. Lucu, memang. Tapi bagaimana lagi?

“Jadi, kapan mau ke rumah Hala?” Dodi yang tengah berada di kamar Alvan berusaha mengulik informasi. Sementara Fauzan memilih untuk menemani kakak Alvan nonton televisi. Dan menghabiskan camilan milik Hala.

“Kira-kira bagusnya kapan?” Alvan bertanya santai pada Dodi. Meski slengean nyatanya laki-laki satu itu sangat berperan buat kehidupannya. Dia senang karena dipertemukan dengan orang-orang yang tulus menyayanginya.

“Secepatnya lebih baik. Karena bagaimana pun niat baik tidak baik jika ditunda—tunda.”

Alvan mengangguk. “Gue nggak nyangka, respon orang tua Hala sangat baik. Padahal jika mereka bisa, mereka bisa menyingkirkan gue dengan mudah. Tapi, ayah Hala malah ingin bertemu dengannya. Dan dari sana Alvan menangkap, jika sinyal-sinyal di terima masih banyak.

“Semoga dia yang terbaik buat lo, Al. Bisa melengkapi lo. Mem-back up apapun kekurangan lo.”

“Aamiin. Makasih, Dod. Gue nggak tahu kalau nggak ada lo sama Fauzan. Dan berkat saran lo berdua, gue berani beranjak untuk keluar dari lingkaran masa lalu dan merajut masa depan bersamamu,” ucap Alvan yang dibalas senyuman manis oleh Dodi.

“Lo sahabat gue sama Fauzan. Jadi jangan sungkan kalau ingin meminta pendapat.”

“Sekali lagi makasih, Dod.”

Dodi mengangguk seraya menepuk pundak Alvan. “Kalau ada teman Hala yang lagi jomlo, bilang ya?”

“Buat apa?” tanya Alvan yang masih belum mengerti maksud dari Dodi.

“Biar kita bisa nikah bareng,” ucap Dodi seraya tertawa keras melihat tampang polos dari Alvan. Benar-benar natural polosnya, itulah yang dipikirkan oleh Dodi mengenai sahabatnya.

Bukan Hanya Soal RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang